Thursday, November 10, 2016

Teleportasi (kudunya tambah quantum)

Sekarang main-main dengan teleportasi.

Bayangkan kalau berangkat kerja tinggal menyetel pintu rumah ke alamat kantor kemudian membuka pintu dan mak ziiiiippppppp langsung sampai kantor. Sebenarnya pikiran ini juga muncul gara-gara gumam waktu kemarin yang dibenturkan dengan ruang.


Yak, teleportasi (tele: jauh; portare: membawa) kata yang saat berangkat kerja tadi kepikiran untuk membenturkan antara ruang dan waktu. Iya teleportasi itu kog bisa ya memampatkan ruang dan waktu. Apakah saat ini ada teleportasi? Suara dan gambar itu teleportasi bukan ya definisinya saat mereka berdua bisa "mengendarai" gelombang dan sinyal yang bisa ngambang-ngambang di udara trus mak ziiiiiipppppppp dengan memakai alat-alat elektronik bisa berteleportasi dan sampai dengan cepat di telinga atau di mata kita yang terpisahkan ruang nun jauh dimana-mana.

Nah kembali ke berangkat kerja yang membuka pintu kemudian mak ziiiipppppppp sampai kantor tadi.

Bisa tidak ya, kita sebagai materi ini, yang terbentuk dari atom carbon kemudian bisa mengendarai gelombang dan sinyal tadi untuk memampatkan ruang dan waktu. Paling tidak ada beberapa alat yang perlu disiapkan, yaitu:

  1. Alat pemecah materi ke tingkat atom untuk mengubah manusia yang materi besar ini menjadi atom-atom,
  2. Alat transfer atom, 
  3. Alat reciever penangkap atom,  
  4. Alat penyusun atom menjadi materi.
Keempat alat itu sepertinya harus memperhatikan bahwa yang mo dipecah, ditransfer, "ditangkap", dan disusun adalah sebuah materi dan atom yang organik. Bayangkan saja, kita memecah sel sebagai "atom" dari organ tubuh kita menjadi atom-atom yang berproton dan neutron kemudian dikonversi menjadi sebuah gelombang atau sinyal dan harus menyusunnya lagi menjadi organ-organ yang masih utuh memiliki jaringan untuk menghubungkan organ-organ tadi menjadi seorang manusia dengan organ-organ yang berfungsi normal lagi.

Hhhhhmmmmmm menarik, mungkin alat-alat itu bisa dibuat terus kita akan memampatkan ruang ya. Tapi bagaimana kita menyusun atom-atom materi yang keacak-acak itu, dikirim dan kemudian ziiiiipppppp disusun lagi. 

Tapi bagaimana jika manusia dikonversi menjadi cahaya? Haasssshhhhh...sebenarnya anda tidak perlu membaca tulisan ini, tapi baca tulisan teleportasi quantum ini yang lebih bermutu dan ilmiah.










Monday, November 7, 2016

Gumam Waktu (2)

Rupanya masih berlanjut pergulatan yang menimbulkan gumam tentang waktu.

Kembali memikirkan bahwa dalam Kisah Penciptaan (dengan background saya yang dikisahkan dalam Alkitab), Tuhan menciptakan dunia namun Dia tidak menciptakan tentang Waktu terlebih dahulu..tertulis di awal ayat Kejadian adalah "Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi..." Nah waktu sendiri diciptakan kapan, sedangkan kata "mula" disitu adalah kata yang memuat konsep Waktu.

Mikir, mikir, mikir...mungkin Waktu itu adalah bagian dari Tuhan sendiri ya? Seperti Dia yang menciptakan Manusia tanpa kemudian Manusia itu harus begini, harus begitu (walau dalam beberapa kepasrahan atau Kepercayaan kemudian Tuhan selalu dikait-kaitkan memiliki Kehendak atas Manusia sehingga terjadi suatu kejadian, baik itu dipandang dari sudut pandang positif maupun negatif). Waktu mungkin memang bagian dari Tuhan itu sendiri, yang seolah-olah menjadi pembatas Manusia agar tidak menjadi Tuhan (lho). Lah bayangkan aja kalau Manusia tu tidak dibatasi oleh Waktu.

Jadi Waktu itu...ya kayak kita bahas Tuhan tu ya...njuk tidak perlu diperdebatkan...Tapi aku kog masih bergumam.


Thursday, November 3, 2016

Gumam Waktu (1)

Halo kadang-kadang, kadang-kadang halo

Kalian pernah membenturkan antara waktu dengan ruang? Sebenarnya apa itu waktu?

Membicarakan waktu seolah kita tidak bisa membicarakan dirinya dengan bebas. Waktu harus dibahas dengan memperbandingkan eksistensinya dengan eksistensi yang lain. Waktu adalah suatu proses yang bergerak, tetapi bukankah proses itu masih hal yang luas dan gerak juga memiliki definisinya sendiri, lalu waktu? Terus berjalan.

Waktu itu kog kayaknya cuma ilusi ya. Masa lalu kita itu sudah tidak bisa kita raih lagi, masa depan kita ukur dengan berandai-andai. "Saat ini" hanya kita lewati saja, ni "saat ini" saya menulis trus tu dah lewat kan. Maka dari itu saya ingin membenturkan waktu dengan ruang, agar saya bisa menangkap waktu. Tapi kembali ke atas, waktu itu tidak bisa kita tangkap secara independen.

Apakah akhirnya usaha untuk menangkap waktu itu sia-sia? Sepertinya iya, bahkan kecepatan cahaya yang cepat itu juga masih terikat oleh waktu. Jika saya bisa menembus ruang masa lalu atau masa depan, saya pun masih terikat oleh waktu. Tapi sebenarnya apa waktu itu sendiri. Nah berlalu lagi ini waktu.

Bagaimana dengan astronot yang katanya kalau keluar angkasa sana njuk kembali ke bumi tu lebih muda dari orang yang tinggal di bumi. Njuk apakah gravitasi kecil atau nol itu kemudian menghentikan waktu? menangkap waktu? tetap waktu itu berjalan lho.

Kesimpulan nulis iki njuk apa tentang waktu? Ngga ono, yang jelas yo waktu berlalu.

Yowislah lah mari duduk ngopi dan berilusi bahwa kita sudah membunuh waktu.





Wednesday, November 25, 2015

Kriteria Kerja yang.......

Sebenarnya apa yang membuat kita tetap bekerja (kerja: kegiatan melakukan sesuatu)?

Yang kurasakan selama ini akhirnya kerja itu saya bagi menjadi 3 kriteria:

1. Kerja karena saya senang melakukannya.
Dalam kriteria ini saya biasanya melakukan kegiatan karena saya sendiri ingin melakukannya sendiri entah itu ada untungnya (untung secara materiil dan inmateriil) secara langsung maupun tidak langsung. Di kriteria ini saya sama sekali tidak mendapatkan tekanan ketika melakukannya, baik dengan keberhasilan maupun dalam kegagalan yang saya rasakan tetap rasa kepuasan itu hasilnya.

Thursday, December 11, 2014

Produsen - MAKELAR juga Pengepul - Konsumen

Sedang mencoba menyadari dan mencari informasi bahwa kebanyakan yang menjadi kaya dalam sebuah sistem jual beli adalah sang perantara ato dalam tulisan ini saya tulis sebagai sang makelar.

Di tingkat kecil yang terdekat sang makelar di desa bapak ibuku yang menjadi kaya di desa tersebut adalah Sabran sang makelar yang menjadi pengepul (pul : tempat mengumpulkan atau memusatkan sesuatu) gabah hasil panenan warga di desa tersebut. Sabran kaya, Sabran yang sudah berumur setengah abad seakan sudah memenuhi kekayaannya dua kali lipat dikuadratkan dari umurnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Itu mungkin, karena Sabran sang makelar juga pengepul. Entah dikerucutkan menjadi teori apa ketika petani-petani padi yang memanen padinya dan menjual ke Sabran tidak bisa menentukan harga kiloan gabah padinya ke Sabran. Sabran tinggal bilang ke petani kalau harga gabah kering sekarang sedang turun sehingga Sabran hanya berani membeli gabah tersebut secara kiloan dibawah harga produksi (produksi: proses mengeluarkan hasil) gabah padinya. Dalam menentukan harga produksi petani pun tak jarang meleset dan masih diinjak-injak seperti keset. Investasi petani dalam usaha-usaha yang dilakukannya seakan menjadi ajang perjudian.

Berbeda dengan sang makelar yang juga pengepul. Dia bebas menentukan harga, bahkan bisa menambahkan biaya penitipan barang di pul miliknya. Sang makelar yang juga pengepul itu tetap bisa menentukan harga saat menjual ke pembeli di kota yang bisa saja makelar berikutnya. Beruntungnya, makelar berikutnya tadi masih bisa juga menentukan harga. Kemudian muncul aneh lagi, sebagai konsumen (konsumen: pemakai barang hasil produksi) saya tidak bisa menentukan harga untuk membeli barang tersebut? Anehnya lagi saya itu ngga menjualnya lagi lho, jadi saya kan tidak bermaksud untuk mengkomersilkan barang yang saya beli. Hmmmmmm mungkin karena saya mementingkan barang yang saya beli untuk diri saya sendiri?

Tak berhenti di tingkat individu. Dalam negaraku juga gitu kog. Semaju-majunya negeri yang saat ini saya tercatat sebagai warganya tetap menjadi produsen (produsen: penghasil barang) mentah. Produsen gabah yang belum siap dimasak menjadi nasi yang kalah oleh makelar juga pengepul.


Segini dulu, kelak nyambung lagi. Semoga





Monday, October 27, 2014

Celana Jeansku Lengket

Akhirnya celana jeansku lengket.

Dari hari Jumat pagi aku memakainya. Kuambil dia dari lemari plastik merk asli Indonesia yang disarankan untuk kucintai dari bapak-bapak berkacamata di iklan televisi.


Tuesday, May 20, 2014

Si Darpan

(foto: Noel)

(ini tulisan lama) Akhir-akhir ini – menurutku – udara terasa panas. Sumuk. Gerah. Bukan lagi hangat menenteramkan, tetapi lebih ke pengap-panas-kemrungsung. Siapa bilang “zamrud khatulistiwa” itu masih sejuk panjang sabar? Kini hanya ada bongkahan tanah liat panas yang terpapar musim pancaroba sepanjang tahun. 

Seakan-akan ada gumpalan panas udara masif yang enggan beranjak dari atas kota ini.  Sepertinya udara yang melayang-layang di sana begitu malas untuk pergi jauh ke ujung bumi. Kemudian hawa sumpek itu berlipat ganda ditambah setiap keluhan, dikalikan umpatan, dikuadratkan tatapan putus asa “bagaimana-cara-mendinginkan-diri”, lalu semuanya itu bertumpuk-tumpuk di depan pintu kamar kita. Sumpek-sumpek ini juga saling berpanjatan, bergulingan, menyatu, jalin-menjalin,berkelindan, menjadi adonan kental yang rasanya tidak enak. Huek.