Barangkali salah satu ciri yang membedakan antara umat
manusia dengan binatang adalah bahwa manusia suka merayakan sesuatu. Begitu manusia
berkumpul, muncul seperangkat aturan. Lantas salah satu aturan yang pamali
dilanggar – di antara segepok peraturan lain – adalah aturan untuk m-e-n-g-i-k-u-t-i
p-e-r-a-y-a-a-n. Secara alamiah, ada perayaan datangnya musim hujan, datangnya
musim panas, datangnya panen, equinox, perihelium, aphellium, perginya
penyakit, datangnya wabah, datangnya menstruasi, datangnya menopause, 35 hari
setelah bayi lahir, ulang tahun, lustrum, dies natalis, sewindu, ulang tahun
perak, emas, diamond .... Dan semua itu seakan tiba-tiba disodorkan di bawah
hidung kita, tanpa kesempatan berkilah, untuk DIRAYAKAN. (Sungguh, bukan saya
yang menciptakan perayaan-perayaan itu. Siapa sih yang iseng punya ide bahwa sesuatu harus dirayakan?)
Pun agama datang, perayaan bertambah. Nasionalisme
menyeruak, setumpuk lagi perayaan dan upacara. Idealisme berebut, media
sosialita hingar bingar, muncullah “cause” ini-itu. Banyak! Berjibun. Masyaalloh! Apapun kostumnya, semua bermakna
tunggal: perayaan! Bahkan cairnya hutang dari IMF pun patut dirayakan.
Barangkali template “Lahir, hidup, pacaran, tunangan,
melahirkan, naik pangkat, rumah pertama, bisnis pertama, pensiun, meninggal, peringatan
7 hari, peringatan 100 hari, peringatan 1000 hari ...” adalah hanya serangkaian peringatan dan
perayaan agar jalan hidup manusia mudah dipahami dan dihafalkan; supaya manusia
yang sulit diatur dapat berderap di atas rel yang sama dan cukup seragam.
Mungkin demikianlah. Semua seperti titik-titik yang membentuk garis-garis
simetris (sementara gegunung lembah dan air terjun bermegah karena
asimetrisnya. Ssst ... kita memang konyol). Barangkali di bawah sadar, secara
komunal, manusia ingin dirinya mudah ditebak. Dengan demikian peristiwa demi
peristiwa sudah seharusnyalah dapat diprediksi. Kalau perlu dipersiapkan dan
dibuat juklak-nya. Bukankah sejarah
membuktikan bahwa mereka yang dihakimi massa adalah orang-orang yang hidupnya
tidak sesuai dengan commonly juklak? Bahkan
peramal pun hanyalah orang yang menegaskan hal-hal yang memang pasti terjadi.
Bagaimana pun juga, hal itu semua – kontrol itu semua – niscaya akan memberi
rasa aman bagi komunitas, terlebih bagi penguasa.
Bagaimanapun juga – anyway
– aku tak sedang berusaha membuat siapapun merasa nyaman. Bahkan juga diriku.
Namun demi “perayaan” Ramadan dengan badai konsumerisme di sore hari (dan
semakin sistematis mendekati Idul Fitri), dan demi berlembar kertas tisu yang
dibuang langsung dari mobil yang berjalan, dan demi hal-hal yang patut
dirayakan tanpa mengundang siapapun – bahkan tak harus menyenangkan, maka
inilah perayaan yang kumaksud: perayaan untuk menyadari diri kita hadir di sini
saat ini. Diriku, dirimu, dirinya, diri siapa saja.
Di dalam perayaan diri masing-masing yang barangkali penuh
liku tak terselami, maka izinkahlah saya – secara pribadi tanpa perlu
mengajak-ajak – untuk merayakan munculnya blog ini. Sebagaimana perayaan dapat
begitu umum dan mendunia, perayaan juga bisa sangat pribadi dan rahasia nan
sederhana. Maka dari itu, izinkanlah saya merayakannya secara diam-diam. Tanpa standar,
tanpa acuan. Mungkin dari situ Tuhan mau berbisik, mendongeng dan berkisah.
Mengada sepotong demi sepotong.
PS: Selamat merayakan sahur dan berbuka puasa. Selamat
menunaikan Idul Fitri.
No comments:
Post a Comment