Hubungan Muntah dengan Gosip
Pembicaraan
tentang sesuatu hal ada yang menyenangkan dan mengenaskan. Hal itu jika
ditinjau dari sisi akibat. Namun, jika melihat sisi lain, yaitu materi gosip,
menurut pendapat pribadi saya, hanya berdampak menyenangkan.
Membicarakan orang
lain, baik itu berkenaan dengan sisi gelap (kebaikan) dan sisi gelap
(kelemahan), adalah hal mudah. Apalagi jika kita membicarakan sisi kelemahan
orang. Kelemahan orang lain menjadi materi gosip yang selalu berlanjut. Materi
gosip akan berhenti hanya jika kita sudah lelah secara fisik (mulut capek
berbicara). Materi gosip akan dibedah sampai kepada bagian paling kecil, bahkan
ada kemungkinan melebihi ukuran paling terkecil dari satuan ukuran yang ada di
dunia. Saya teringat akan pendapat umum bahwa “membicarakan kelemahan orang
lain tidak akan habis, kecuali kiamat (frase ‘kecuali kiamat’ adalah tambahan
penulis). Wow, salah satu hipotesis yang mengerikan tentang perilaku gosip dan
bukan perilaku yang patut dibanggakan.
Perilaku
gosip bukan sesuatu yang bukan menghasilkan perubahan (secara positif).
Perilaku gosip (dalam konteks membicarakan kelemahan manusiawi manusia) membuat
kita, orang yang melakukan perilaku gosip tambah lebih buruk dari individu yang
menjadi materi gosip. Kita, orang yang menggunjing sesama manusia, terlihat
lebih menjijikkan. Seolah-olah kita yang memberikan kesaksian adalah yang
empunya memiliki segala pengetahuan tentang orang lain, padahal secara riil
TIDAK.
Pengalaman
personal saya tentang perilaku gosip terjadi pada 2 minggu, kalau tidak salah
ingat tanggal 14 Juli 2013. Saya terlibat dalam perilaku gosip itu. Namun, ada
hal yang menarik yang saya alami, yaitu perasaan ingin muntah. Saya memang
melakukan gosip, tapi baru kali pertama ini muncul perasaan ingin muntah.
Semakin saya mendengar teman-teman saya menggosip, semakin kuat keinginan untuk
muntah. Apalagi ditambah saya ikut terlibat mengatakan sesuatu hal, perasaan
muntah semakin kuat. Sehingga, jika seseorang menanyakan kepada saya, ‘apakah
ada hubungan antara perilaku muntah dan perilaku gosip?’, maka akan saya jawab
dengan tegas,’ YA, ADA.’
Diskusi
tentang hubungan dua perilaku yang menjadi tema tulisan ini, yaitu muntah dan
gosip berlanjut lebih jauh. Menurut saya, ada hal lain yang menambah perilaku
ingin muntah dengan gosip, yaitu perasaan muak terhadap diri sendiri. Perasaan
muak oleh karena membicarakan kelemahan orang lain. Namun, hal menarik yang
saya temui adalah perilaku membicarakan orang lain tentap dilakukan, seperti
yang telah tertulis di paragraf sebelumnya. Hipotesis saya adalah perilaku
ingin muntah dikarenakan kita memiliki titik jenuh. Semakin kita banyak
terlibat dalam perilaku gosip, baik pelaku aktif maupun pasif, maka perasaan
muak terhadap diri sendiri (dan akhirnya muncul perilaku mau muntah) menjadi
turun. Jadi, korelasinya bersifat negatif. Semakin banyak berperilaku gosip,
rasa muak terhadap diri sendiri (dan mau muntah) menjadi rendah. Namun, apakah
mata hati kita sudah buta atas hal-hal positif/kebaikan, meskipun terbilang
kecil?. Mungkin benar adanya peribahasa ini, ‘nila setitik menghancurkan susu
sebelanga’. Bagaimana dengan keburukan diri sendiri?. Bagaimana perilaku hidup
kita?.’ Semut di seberang pulau terlihat jelas, gajah di pelupuk mata
terlewatkan’. Teori saya, perasaan muak yang dilanjutkan dengan perilaku ingin
muntah adalah bentuk kesadaran. Kesadaran akan perilaku kita yang bukan pada
kapasitasnya memberikan penilaian kepada sesama. Kesadaran untuk pergi menjauh
dari perkumpulan gosip ATAU menghentikan perilaku gosip.
Selamat
merenungi diri kita sendiri.
by Solid Snake
No comments:
Post a Comment