Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia
akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.
Itu adalah penggalan kalimat yang tidak sengaja kutemukan
saat ‘mencuri baca’ di toko buku Gramedia Amplaz. Karena mencuri-curi, aku
tidak sempat melihat judul novel itu. Yang kuingat, di bawah penggalan tulisan
kalimat itu tercetak sebuah nama- Pramoedya Ananta Toer. Sampai saat ini, aku
hanya tahu bahwa identitas profesi yang melekat pada nama itu adalah PENULIS. Aku
belum pernah membaca satupun buku yang ditulisnya. Jadi kenapa malam itu aku bisa
terpukau pada kutipan kalimat ini? Begini ceritanya.
Beberapa waktu lalu, seorang teman (sebut saja inisialnya
R.O.N.D.A.N.G) mengusik pemikiranku dengan suatu fakta. Aku tidak hapal betul
bagaimana formulasi kalimat yang diucapkannya, tapi beginilah kira-kira ringkasan
obrolan kami: “kalau kita tidak
menggunakan suatu keterampilan dengan intensif, maka keterampilan itu lambat
laun akan hilang. Otak seperti punya mekanismenya sendiri untuk memutuskan
hubungan neuron ketika suatu keterampilan tidak kita gunakan. Nah, belakangan
ini kita terbiasa menggunakan keyboard. Entah itu pada laptop maupun hp. Kira-kira
keterampilan kita untuk menulis dengan tangan lambat laun akan hilang tidak?”
Selanjutnya, teman satu ini bercerita tentang bagaimana dia
mulai mendisiplinkan diri untuk menulis setiap hari dengan menggunakan tangan. Menyediakan
waktu setiap paginya sebagai moment dimana keterampilan tangan untuk menulis
mendapat penghargaan yang optimal. Bukan tulisan yang panjang, katanya. Hanya seperempat
kertas A4 yang perlu dipenuhi oleh tulisan tangannya. Bagiku, obrolan ini
menjadi semacam satu titik kecil yang menunggu titik-titik lain untuk bermunculan.
Tidak terlupa begitu saja, tapi tidak juga sampai memenuhi pikiranku.
Hari berikutnya, seorang teman yang lain (sebut saja
inisialnya N.O.N.O.P) tiba-tiba mengungkapkan semacam kegalauannya tentang
keterampilannya untuk menulis. Lagi-lagi kalau tidak salah ingat, beginilah
ringkasan obrolan kami: “belakangan ini aku sudah jarang menulis. Gara-gara
kita sering membahas tentang literasi, kok aku jadi kangen menulis ya? Pingin memulai
lagi. Tapi rasanya pingin menulis terus mendapat feedback. Jadi biar nggak
merasa sendiri. Gimana kalau kita menulis bersama?”
Nahlooo...virus apa gerangan yang menjangkiti kedua teman
ini? Begitu pikirku. Bagiku ini semacam titik kecil lain yang muncul dan dapat
dihubungkan dengan titik yang kemarin mendadak muncul. Lucunya, dua titik ini
ternyata diikuti oleh titik-titik lain yang mendadak bermunculan. Seperti ketika
melihat bintang di malam yang terang. Awalnya kamu bisa menemukan satu bintang.
Lalu semakin terbiasa matamu dengan kegelapan, kamu akan bisa menemukan
puluhan, bahkan ratusan bintang lainnya.
Seorang teman lain (sebut saja inisialnya N.O.E.L- yang satu
ini harus disebut dengan penuh rasa hormat agar lanjut umurmu di tanah yang
dijanjikan Tuhan. Hehehe...), ternyata menanggapi ajakan ini dengan antusias. Dimulailah
percakapan tentang teknis menulis bersama. Tapi, karena kami semua ini tampaknya
adalah sekumpulan orang I (introvert) yang mengalami GPP (gangguan pemusatan
perhatian), maka perihal tulis menulis ini tiba-tiba terhenti karena munculnya
banyak usulan untuk dipertimbangkan. Apakah akan membuat blog untuk ditulisi
secara keroyokan? Atau meluangkan waktu sejenak untuk bersama-sama membiasakan
tangan masing-masing untuk menghasilkan tulisan? Atau menyediakan buku tulis
untuk sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai semacam ruang muntah bersama saat
tiba-tiba ada monyet-monyet liar yang secara acak menghubungkan berbagai kabel
yang seliweran di otak?
Setelah beberapa titik-titik inilah, moment perjumpaanku
dengan kristal buatan Pramoedya muncul. Bagiku kalimat beliau itu semacam titik
yang membuatku kecanduan untuk mencari titik-titik lain. Penasaran gambar apa
kira-kira yang akan muncul setelah semua titik itu dihubungkan. Dengan antusias,
aku lalu membagikan kalimat Pramoedya itu kepada 2 teman yang memunculkan
titik-titik awal. Seingatku, Nonop dan Rondang tersenyum manggut-manggut setelah
membaca kalimat itu.
Dan keesokan harinya, aku dikejutkan dengan ajakan sodara
Noel untuk bergabung menulis blog bersama. Voalaaa!! Lahirlah blog yang
berjudul: Judulnya Tentang! (Hebat ya nama blog kami!)Persalinan dan urusan
akte kelahiran diurus sepenuhnya oleh sodara Noel. Kami semua hanya tinggal ikut
menandatangani akte kelahirannya.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Sudah 3 jam
glundang-glundung dengan pikiran yang tidak mau meniru lampu kamar yang sejak
tadi sudah kumatikan. Satu pikiran yang tiba-tiba muncul, “apa ya yang
dipikirkan oleh Bunda Teresa, Romo Mangun, atau orang-orang hebat lainnya kalau
mereka tidak bisa tidur?”. Belakangan ini memang aku sedang penasaran dengan
kisah orang-orang hebat. Entah bagaimana, monyet-monyet di kepalaku tiba-tiba
menghubungkan pertanyaan ini dengan salah satu sketsa stand up comedy yang menampilkan pemikiran iri seorang KRISTINA
MARTHA TIAHAHU terhadap R.A KARTINI. Seingatku, keduanya sama-sama mendapat
gelar pahlawan nasional. Tapi hanya R.A Kartini yang mendapat jatah satu hari
untuk diingat sebagai hari miliknya. “ah! sudah capek-capek kita angkat senjata,
tapi tidak ada hari yang dikhususkan untuk mengingat kita. Si Kartini itu, cuma
angkat pulpen saja sudah dapat satu hari yang diberi namanya. Tau begini kita
pun angkat pulpen saja ya!”.
Ironis bukan! Tapi begitulah kenyataannya. Tidak satupun
dari kita tahu dengan pasti bagaimana kisah perjuangan nona KRISTINA. Tapi ada
banyak tulisan yang bisa bercerita tentang kisah perjuangan jeng KARTINI. Betapapun
kuatnya budaya lisan, terbukti bahwa tulisanlah yang dapat meneruskan
peradaban. Segala sesuatu di bumi ini mengalami perubahan. Begitu juga dengan
ingatan. Penuturan kembali ingatan secara lisan, mau tak mau pasti mengalami
dampak perubahan. Mungkin ada kisah yang terlupakan. Mungkin pula ada yang
mendapat tambahan. Tapi pemikiran yang terkristal dalam kata-kata yang tertulis
akan mempertahankan sendiri ingatannya. Semacam mengabadikan moment yang
terjadi.
Pepatah mengatakan, tiada yang abadi kecuali perubahan. Lalu
apa artinya “menulis adalah bekerja untuk keabadian?” mungkin karena kata-kata
yang tertulis dapat menangkap berbagai perubahan yang terjadi. Kata-kata yang
tertulis itu semacam pelayan yang melayani perubahan agar menemukan bentuknya
untuk dikenali. Kalau perubahan itu mengalami perubahan lagi, masih ada banyak
sekali kata yang dapat dipilih untuk menangkap dinamikanya. Begitukah? Aku tidak
tahu pasti. Belum menemukan ada tulisan yang menjelaskan apa maksud Pramoedya
menuliskan kalimat itu.
Ah! kalaupun pikirku ini kurang tepat, tak apalah. Setidaknya,
bagiku menulis itu bekerja agar aku tak perlu terus membuka mata karena tidak
bisa tidur. Oaheem...
Bagiku saat ini, menulis itu boleh juga kok bekerja untuk sejenak
tidur yang nyenyak agar tak terburu-buru menikmati keabadian. Zzzzzzzzzz ...
Menarik. Kemunculan pertama Eyang Pram di blog ini. Sekaligus tulisan pertama yang muncul dengan rapi ... Ah, kok pria-pria selalu kalah rapi ya. Bener ga to Bang Rondang?
ReplyDeletehahahaha... indikator kerapian tulisan di blog ki piye?
Delete