Dan TUHAN pun tertawa renyah, sekeriuk kerupuk
keriting
Dua
minggu yang telah lewat, dalam minggu di antara bulan Juli dan Agustus, penulis
mengamati kejadian-kejadian menarik yang terbit di sekitar lingkungan. Sumbernya
beragam. Sumber pertama berasal dari pengamatan secara langsung, sewaktu duduk
di sebuah warung makan kecil di dekat kos penulis. Sumber kedua bersumber dari
percakapan secara langsung dengan manusia lain di dunia ini. Sumber ketiga
tertangkap dari sumber audio yaitu, siaran langsung salah satu stasiun di
yogyakarta. Kala itu penulis sedang duduk di kamar kos sambil menyetrika
pakaian. Penulis mencoba mengolah kejadian-kejadian mengesankan yang telah
diamati maupun didengar, menjadi sebentuk refleksi pribadi. Kata yang terbit
adalah perilaku mengeluh dan rasionalisasi.
Perilaku
rasionalisasi tertangkap oleh telinga pada saat penulis mendengarkan sebuah
lagu dari seorang penyanyi solo pop melalui media radio. Hal yang menarik
perhatian penulis adalah bagian kecil dari keseluruhan syair lagu tersebut.
Kira-kira begini syair tersebut, ‘...mungkin TUHAN menyayangiku sehingga Dia
menunjukkan semua hal yang buruk dari dirinya...’. Sebelum bagian kecil syair
ini, penyanyi itu menyatakan perasaan sedih dan ketidaknyamanan atas perilaku
buruk dari kekasih hati yang begitu dikasihinya. Kemudian muncul, syair bahwa TUHAN
mengasihinya dengan memperlihatkan keburukan-keburukan yang ada pada
pasangannya. Mendengarkan syair lagu tersebut, penulis secara spontan berujar,
‘rasionalisasi’. Rasionalisasi bahwa TUHAN memisahkan dirinya dari sang kekasih
hati yang dia anggap menyakiti dirinya dan dianggap penyanyi sebagai bentuk
kasih sayang TUHAN. Kenapa penyanyi tidak mampu menyatakan tentang perasaannya
yang dialami atas kejadiaan yang menyakitkan? Kenapa penyanyi lari dari
perasaan atau kondisi-kondisi kurang menyenangkan? Kenapa kita melemparkan
beban untuk bergumul dalam kondisi buruk kepada TUHAN? Kenapa kita meminta
TUHAN yang memikul segal bentuk kepahitan atas relasi yang terjadi antara dua
manusia, padahal nyata-nyata kita yang memulai dalam proses relasi
interpersonal tersebut?.
Penulis
pikir dan rasa bahwa segala bentuk kepedihan atas penderitaan yang terbit atas
dirinya oleh karena menjalin kisah asmara dengan orang lain adalah dikarenakan
oleh dirinya juga. Dirinya memiliki andil, mungkin lebih besar, daripada TUHAN.
Penulis mempercayai bahwa TUHAN, Sang Khalik pencipta bumi dan langit, adalah
Sang Mahakuasa yang berdaya atas segala ciptaanNya. Namun, penulis geram dan
ribut atas syair yang dibuat oleh, mungkin oleh penyanyi sendiri atau orang
lain. Seolah-olah duka nestapa yang diperolehnya adalah, mungkin dari TUHAN
Sang Mahakasih lagi Mahapenyayang.
Kenapa
kita enggan berkaca dan melihat ke dalam diri kita sendiri?. Mengapa kita,
manusia, kurang mau duduk sebentar untuk merenungi kejadian-kejadian yang
dialami, entah itu bahagia atau duka?. Sampai kapan kita, manusia, meratapi
suasana duka yang sebenarnya kita buat sendiri?. Kenapa kita belum mau menjadi
orang yang bertanggunjawab atas pilihan-pilhan yang telah dibuat?. Lari dari
konsekuensi-konsekuensi pilihan-pilihan yang telah dibuat? Kenapa kita tidak
berusaha mencari jalan keluar, yang secara sehat, bukan melemparkan
kondisi-kondisi menyedihkan kepada takdir yang telah TUHAN berikan atau oleh
karena TUHAN Sang Pencipta mengasihi diri manusia? (Saya rasa TUHAN bakal tertawa melihat perilaku kita yang seperti anak
kecil ATAU diam saja memandangi kita yang merengek-rengek sambil
berguling-guling di lantai untuk dibelikan balon). Saya kembali jadi ingat
perkataan teman saya, ‘terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab
tentang kondisi yang terjadi di Indonesia, our
beloved country?’
Penulis
pikir dan rasa (lagi), pada saat kita tenang sebentar, mengingat
kejadian-kejadian yang telah lewat, menarik makna, memeriksa diri sendiri, lalu
bangkit untuk berjalan kembali, membuat kita belajar untuk berdaya. Belajar
berdaya untuk mengusahakan terlebih dahulu usaha atau cara keluar dari kubangan
masalah. Belajar berdaya untuk menemukan kekuatan diri yang telah TUHAN berikan
sehingga kita bisa beradaptasi dengan lingkungan yang senantiasa dinamis.
Penulis memiliki kepercayaan bahwa semua mahluk ciptaan TUHAN memiliki
kemampuan untuk berdaya dalam mengarungi kehidupan di bumi. Kemampuan untuk
berdaya perlu kita cari. Masing-masing mahluk ciptaan berusaha untuk mencari
kemampuan yang membuat dirinya bertahan dalam kehidupan. Berusaha yang terbaik
sampai mencapai titik jenuh lalu berkata, ‘TUHAN, semua jalan yang terbaik dan
positif sudah aku lakukan, aku pasrah terhadap hasil yang Engkau berikan’.
Pengalaman
mendengarkan lagu itu memberikan pelajaran berharga lainnya bagi penulis untuk
selektif dalam mendengarkan lagu ataupun hati-hati dalam mendengarkan lagu.
Penulis pikir, syair lagu memiliki kekuatan yang kecil namun jika kita
dengarkan berulang-ulang, mampu menjadi kekuatan besar sehingga mempengaruhi
kondisi psikis kita.
Menjadi
manusia yang ‘sehat’ (berdaya) atau
selalu lari dari kenyataan adalah pilihan kita. Namun, kita perlu bersabar
kepada diri kita sendiri mampu kepada orang lain. Ada orang yang telah mencapai
titik berdaya, tetapi ada orang lain masih belajar untuk mencapai titik
tersebut. Saya jadi teringat perkataan salah satu pengajar di universitas,
yaitu ‘do the best and leave the rest to
GOD’ (Usahakan yang terbaik, serahkan sisanya kepada TUHAN).
No comments:
Post a Comment