22 Agustus 2013. Kamis subuh itu aku menyadari bahwa
pemberontakan tubuhku bukan lagi semacam sinyal pencari perhatian yang manja. Benar-benar
ada yang tidak beres dengan napasku. Itu adalah saat aku ingin memaki suara
yang mengatakan bahwa oksigen itu gratis. Aku sadar di sekelilingku pastilah
ada partikel-partikel O2 yang melayang di udara. Tapi entah kenapa subuh seolah
partikel O2 jatahku sudah habis. Subuh itu napasku sesak. Seharusnya aku tetap
mengumpulkan kotak-kotak kosong, botol-botol kosong atau semua ruang kosong
untuk menyimpan oksigen bagi diriku sendiri. Sungguh, tak selamanya oksigen itu
gratis...
Itu yang membuatku membulatkan tekad periksa ke dokter. “Sudahlah!
Akui bahwa walaupun ini tahun ketigapuluh kamu mengendarai tubuh ini, tetap
saja ada bagian yang tidak dapat kamu kenali atau kendalikan dengan baik.” Begitu
kata Sesuatu dalam diriku.
Siang itu, aku mendapat no urut 17 untuk bertemu dokter. Tapi
karena aku datang pagi, aku diperbolehkan bertemu dokter lebih dulu
dibandingkan pasien lainnya. Ketika dokter menempelkan stetoskop di tubuhku,
ingin rasanya aku ikut mendengar apa yang didengar dokter itu. Ingin rasanya
aku mendengar apa yang dikatakan tubuhku. Sempat merasa cemburu, bagaimana bisa
paru-paruku lebih nyaman menyampaikan keluhannya pada dokter yang baru ditemui
hari itu dibandingkan langsung bicara denganku yang selama 30 tahun ini
menggembolnya kemana-mana? Ah, tapi bukankah cemburu itu adalah hal yang pasti
akan dialami semua relasi. Mungkin paru-paruku pun pernah suatu kali cemburu
padaku yang sempat mengabaikannya.
“Bronkhitisnya kumat. Itu karena alergi. Nilai alergimu itu
tinggi sekali. Kalau orang normal cuma 100, ini kamu sudah sampai 300. Bahkan lebih.
Badanmu sudah capek berperang sendiri. Perlu bantuan obat.” Begitu kira-kira kata
dokter dan suster menceritakan kondisi tubuhku. Tidak seperti biasanya, kali
ini aku kehilangan kata-kata. Aku tidak banyak bertanya. Pun tidak ingin tahu
info apapun lebih banyak. Rasanya cuma pingin segera keluar dari rumah sakit
itu. Mendadak merasa kecewa, seperti dikhianati. Seolah-olah aku baru saja
menangkap basah tubuhku sedang berselingkuh. Menyembunyikan sesuatu dariku. Akh...
Sewaktu menunggu antri mengambil obat, mataku mendadak
terpaku pada kursi kosong yang ada disebelahku.
Kadang ingin ada dirimu, tuk duduk menemani...
Begitu lagu yang tiba-tiba mengalun dalam diriku. Aku ketakutan.
Lagi-lagi harus berhadapan dengan yang namanya Bronkhitis. Sejak berumur 2
tahun, aku terus menerus harus bermain dengan si bronkhitis. Terkadang dia
memaksaku untuk menelan berbagai macam obat. Tapi kadang aku juga memaksanya
untuk hilang sejenak dari pikiranku, dengan berpura-pura bahwa aku ini
sehat-sehat saja. Mencuri-curi main hujan. Mencuri-curi asyik berendam di
kolam. Tidak mau minum obat. Kadang aku bilang lupa. Kadang aku sengaja
membuang butiran obat itu. ah, tapi semua itu justru membuat brokhitis berhasil
mengikutiku terus sampai aku kuliah.
Siang itu, mendadak aku pingin ditemani. Bukan dengan kursi
kosong. Siapapun boleh, asal bukan kursi sepi itu, karena aku takut dengan si
bronkhitis. Bagaimana kalau nanti aku demam sampai kejang lagi? Bagaimana kalau
nanti aku pingsan lagi? Bagaimana kalau semua itu terjadi lagi waktu aku
sendiri? Aku takut.
Tapi lalu ada Sesuatu yang berbicara dari dalam diriku,
“Gusti itu lebih nyata daripada kursi sepi!”
Ah, bukankah bronkhitis yang dulu pertama kali membuatku
mengenal Gusti? Ketika 3 hari demam dan kejang berkali-kali. Ketika itu aku
marah karena papa-mama harus ke gereja sementara aku kejang karena demam. Dalam
amarah, aku hanya bisa menelan teriakanku. Memohon bantuan pada bayangan
dedaunan yang masuk lewat jendela kamar untuk menyampaikan pesan ini padaNya, “bukankah
Gusti punya semua hari, kenapa harus meminta papa-mama ke gereja saat aku
sedang sakit?”
Hari-hari berikutnya bayangan-bayangan daun itu yang
menemaniku dalam sepi. Mereka mendengarkan marahku, tapi tak pernah satupun ada
balasan dariNya. Ia tidak memarahiku. Di sela-sela waktu sadarku, Ia justru memainkan
pertunjukkan wayang. Hingga aku tertidur. Terlelap untuk kesekian kalinya.
Setelah demamku turun, aku diperbolehkan duduk-duduk di
teras depan rumah. Ketika itulah untuk pertama kalinya aku merasa dicintai. Di teras
depan rumah itu aku jadi tahu siapa yang memainkan bayangan dedaunan. Aku jadi
tahu siapa yang membuatku tidur lelap ketika demam.
Di teras depan rumah itu aku tahu: Gusti ada dalam angin sepoi-sepoi. Ia yang memainkan dedaunan untuk membentuk pertunjukan wayang untukku. Ia yang menidurkanku dalam belaian angin sejuk ketika badanku berkeringat karena demam. Ia yang mendengarkan marahku dan tetap mencintaiku. Ia yang mencintaiku dalam hembusan angin.
Ah...bronkhitis memang menyebalkan. Tapi ia patut disyukuri.
Karena ia yang pertama kali membuatku merasa dicintai.
Sekarang bronkhitis datang lagi. Mungkin nanti adakalanya
aku tiba-tiba aku merasa sedih karena sendiri. Atau dalam ketakutanku, mungkin aku
akan mulai bertanya. “Siapa yang akan memainkan bayangan-bayangan daun? siapa yang
akan mendongeng hingga aku terlelap?”
Kiranya dendang ini menjadi doaku,
Kadang ingin ada diriMu, tuk duduk menemani...
No comments:
Post a Comment