11 Agustus 2013. Itu sabtu sore. Sore itu sama seperti sore biasanya. Mandi air
hangat, berpakaian nyaman, bersiap menikmati altarnya. Satu hal yang selalu
kutunggu dari sabtu adalah sore ketika altarnya terbuka untuk ditapaki
kaki-kaki kecil. Ketika ia yang berjubah mau berbagi panggung dengan celoteh
anak-anak. Ibadah sabtu itu sungguh unik, menurutku. Baru kali ini aku
menemukan ada gereja yang memberi ruang bagi anak-anak untuk berlarian naik ke
altar. Tidak seperti di tempat lain, ketika melihat anak-anak berlarian ke
altar, di sini semua mata tua itu hanya bisa memandang dari kejauhan. Tidak ada
yang berteriak melarang. Semua mengantarkan langkah kaki-kaki kecil itu naik
altar dengan wajah yang tersenyum. Walaupun aku tak ada dalam kumpulan bocah
yang berlari itu, aku seringkali menemukan jiwaku jingkrak-jingkrak, bahkan
membuat tarian suka-suka. Ngintil dalam
sukacita anak-anak yang berlari itu...
Hanya bagian itu yang biasanya bisa aku nikmati dengan utuh.
Adakalanya setelah anak-anak itu berlalu dari altar, jiwaku pun lalu kembali
meringkuk. Berusaha nyaman di tempat duduk yang dingin. Aku memperhitungkan
sebagai keberuntungan kalau lagu-lagu yang dinyanyikan diaransemen dengan unik.
Begitu juga kalau ia yang berjubah di atas sana itu menyampaikan kisah dengan
tetap mengingat hakikat sebagai manusia. Tapi sore yang lalu ini bukan hanya
sebuah keberuntungan. Bagiku ini sebuah keajaiban. Karena lagi-lagi aku merasa
dicintai. Ini yang membuatku merasa dicintai sore itu...
Keselamatan itu semacam tiket gratis untuk menikmati Tuhan.
Bukan pengumpulan poin- semakin banyak poin yang kamu dapat maka semakin tinggi level surga yang akan kamu nikmati. Semakin banyak poin yang kamu kumpulkan maka semakin banyak fasilitas surga yang dapat kamu nikmati.Nah, sampai sejauh ini siapatah yg sudah menjadi pengumpul poin terbanyak?
Bukan pula permainan jungkat-jungkit keseimbangan. Kalau berat “baikmu” lebih banyak daripada berat “jahat”mu maka kau mendapat bagian surga. Kalau sebaliknya maka kau dibuang ke neraka. Nah, kalau timbangannya seimbang? Mungkin surga akan mempertimbangkan untuk mencari timbangan yang baru. No one knows...
Keselamatan itu sesungguhnya adalah tiket gratis. Ada yang sudah membayar harga perjalanan ini khusus untukmu. Ketika tiba saatnya penjemputan, semua orang yang memegang tiket itu boleh ikut kereta. Dia yang mengendalikan penjemputan sudah terlatih. Tidak mungkin tersesat karena Ia sudah tahu jalannya dari bumi ke surga.
itulah yang disampaikan pria berjubah sore itu.
Betapa bahagianya mengetahui bahwa kematian Yesus itu bukan
sesuatu hal mengerikan yang dibebankan menjadi tanggung jawab kita. Sejak kecil
aku sering mendengar hal-hal ini, “Yesus mati karena kamu. Dosamu yang besar
itu menyebabkan Ia menderita! DarahNya itu mengalir karena kesalahanmu.” Tiap kali
mendengar hal-hal seperti ini aku seringkali merasa sedih. “kenapa Tuhan membiarkan
proses penciptaan manusia berlangsung terus-menerus sampai saat ini, kalau itu
hanya akan menambah penderitaanNya? Bukankah ketika ada semakin banyak manusia
yang tercipta, berarti semakin banyak dosa, berarti semakin besar
penderitaanNya? Apakah Tuhan adalah pribadi yang suka menyiksa diriNya?”
Mendengar bahwa keselamatan itu semacam tiket gratis untuk
menikmati Tuhan sungguh membuatku merasa dicintai. Bahwa ia membelikanku tiket
agar dapat menikmati kebersamaan denganNya. Ia bahkan turun ke bumi untuk
membuatkan jalan bagi manusia agar mencapai surga. Aku ini sangat mudah
tersesat. Jadi mengetahui bahwa ada Seseorang yang sudah menempuh jalan dari
bumi ke surga, membuatku tenang. Karena mencintaiku, Ia membuatkan jalan
untukku ke surga.
Aku merasa
dicintai karena menyadari bahwa Dia yang menciptakan manusia, ternyata adalah
pribadi yang sangat mencintai manusia. CintaNya itu diwujudkan dengan
menjadikan diriNya teman seperjalanan bagi ciptaanNya. Ia- yang adalah Pencipta- telah mengosongkan diriNya dan mengambil rupa sebagai
seorang manusia – ciptaan. Itu artinya ia sungguh-sungguh hadir dalam kehidupan
manusia. Sungguh aku merasa dicintai ketika mengingat bahwa Tuhan pernah
merasakan panasnya terik, dinginnya hujan, menggigilnya malam dan gerahnya
siang- sama seperti yang kualami saat ini. Tuhan juga pernah merasakan
bagaimana getirnya darah dan daging ketika berhadapan dengan rasa marah,
kecewa, sedih, bingung dan juga takut. Bahagiaku juga karena percaya bahwa Ia pun
pernah menikmati lezatnya ikan bakar, segarnya air, pun rasa lapar yang menggoda.
Ketika Tuhan memutuskan mengambil rupa seorang manusia, itu
artinya Ia sungguh-sungguh mengalami pengalaman manusia. Menjadi anak-anak,
remaja, dan dewasa, lalu mati. Kenyataan bahwa Tuhan mau mencicipi kehidupan
manusia itu membuatku merasa dicintai. Ia sungguh-sungguh mencicipi bagaimana rasanya
ada dalam kandungan. Mencicipi kelahiran. Mencicipi pertumbuhan dan
perkembangan menjadi dewasa. Mencicipi penolakan. Mencicipi penderitaan
manusia. Dan bahkan Ia juga mencicipi kematian sebagai manusia. Bukankah semua
ini adalah pengalaman yang akan kita alami sebagai manusia?
Bagiku, cintaNya itu bukan hanya ketika Ia menjalani jalan
salib. Ia bukan Pencipta yang playing victim untuk menunjukkan
besar cintaNYa. Besarnya cintaNya itu nyata ketika ia sungguh menjadikan
dirinya teman seperjalanan bagi manusia. Bagiku. Menemaniku menjalani kehidupan
di bumi. Menemaniku menikmati panasnya terik dan dinginnya hujan. Menemaniku menikmati
lembah, gunung, ataupun laut. Menemaniku menikmati tawa, takut, marah, kecewa,
sedih, dan semua emosi yang ada. Menemaniku menghadapi penolakan dan pujian. Menemaniku
dalam semua pengalaman menjadi manusia. Ia yang berkata “Aku mencintaimu”, sungguh-sungguh
ada bersamamu untuk menikmati berbagi kebersamaan dalam hidup. Tidakkah itu
sangat romantis?
Sore
itu, aku merasa dicintai karena tidak diburu-buru untuk segera ke
surga. Ia justru mengajukan undangan untukku menikmati bumi bersamaNya. Menemaniku
mengamini “jadilah kehendakMu, di bumi seperti di surga”.
Hingga nanti Ia menjemputku untuk menikmati kebangkitan dan perjamuan
surgawi. Hingga nanti aku kembali nyungsep
di kelekNya, menikmati sun sayang, menikmati dongeng-dongengNya. Dan menikmati bisikan
lembutNya “sangat mencintaimu, kesayanganKU.”
PS: Tuhan menyayangimu. Sungguh amat sangat!
...bersambung
No comments:
Post a Comment