Tuesday, September 17, 2013

Pencerahan
Pada usia ke 29 tahun, saya memunculkan perasaan menyesal pada diri saya. Perasaan menyesal terbit oleh karena muncul pemahaman bahwa menjalani hidup itu mudah. Hidup adalah proses saya lahir ke dunia, tumbuh menjadi pribadi, menjalani relasi di masyarakat, memberikan manfaat kepada masyarakat, lalu mati. Jika hidup adalah suatu proses yang mudah, mengapa saya harus mengalami sekolah (sekolah dasar sampai perguruan tinggi)?. Jika hidup adalah hal yang mudah, saya akan memilih untuk menjalani hidup yang membuatku diri nyaman. Hidup yang tidak merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Hidup dengan mengerjakan apa yang menjadi kesukaan diri kita. Saya memelihara ikan hias atau tanaman, lalu menjadi pedagang ikan hias atau tanaman.
Mungkin sederhana, tetapi sepanjang hidup yang didapat adalah kebahagiaan. Hambatan-hambatan yang ditemui selama menjalani profesi penjual ikan hias atau tanaman dihadapi dengan semangat. Kenapa? Karena saya sudah menyukainya dan mau menjalaninya.
Selama berkutat dengan pemikiran yang menyatakan bahwa kehidupan itu mudah, saya mencari penyebab bagaimana pikiran itu (hidup itu mudah) terbit. Apakah benar pikiran itu muncul semata-mata karena mengetahui bahwa pendidikan tidak semata-mata pergi ke sekolah?. Apakah dikarenakan bahwa tanpa mengenyam “bangku” sekolah, saya tetap berdaya dalam hidup sehari-hari?. Lalu saya tiba pada titik bahwa munculnya pemikiran bahwa hidup itu mudah oleh karena pendidikan itu sendiri. Pendidikan membuat pemikiran saya “bergerak”. Pendidikan membuat saya membaca buku. Pendidikan membuat saya mampu mengolah berbagai fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar tempat saya hidup. Pendidikan membuat saya bertemu dengan orang-orang, lalu terjadi diskusi. Diskusi dengan orang lain membuat wawasan saya bertambah. Pendidikan memampukan saya hadir di tempat tertentu dan menemukan bahwa hidup itu mudah. Lalu saya bertanya kepada diri saya sendiri. “Pantaskah saya menyesal?”. Jawabannya adalah tidak. Pemikiran bahwa hidup itu mudah membuat saya lebih menghargai pilihan-pilihan anak-anak usia sekolah (SMP-SMA). Jika memang ada keponakan (laki-laki atau perempuan) saya yang memilih untuk tidak bersekolah atau hanya “mencicipi” sekolah pada batas tertentu, saya akan menghormati pilihannya. Lalu, saya akan bertanya kepada dia, “alasan dia tidak mau sekolah?. Pemikiran itu muncul dari diri sendiri?; apa yang akan dikerjakannya (profesi) untuk menghidupi dirinya?; hal-hal yang dilakukan untuk mencapai profesi  yang diinginkannya?; apakah itu merugikan dirinya?; mampu bertanggung jawab atas pilihannya?; merugikan orang lain?; merugikan lingkungan?”.
Pernyataan-pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan mungkin bagi orang tidak masuk akal. Tidak masuk akal oleh karena terlihat membebaskan pilihan kepada “tangan” anak. Anak adalah pusat dari keputusan hidup, sehingga orang dewasa seolah-olah hanya menjadi penonton yang baik. Jika memang demikina, maka ini disebut pembiaran. Pembiaran adalah perilaku yang melanggar hak anak. Namun, jika kita mau cermati, terdapat proses dialog setelah anak membuat keputusan. Kita bertanya tentang pilihan anak. Kita mencari tau alasan mereka membuat keputusan itu atau ini. Kita membuat anak berdaya untuk berpikir. Kita membantu anak untuk melakukan langkah-langkah yang logis dalam upaya mencapai apa yang ingin dikerjakannya. Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan, membuat anak berpikir. Kita bisa mengajak anak untuk mencari informasi (membaca buku) tentang profesi yang diinginkannya. Kita bisa bertemu dengan orang yang menjalankan profesi itu (yang diinginkan anak). Secara tidak langsung hal-hal ini membawa dampak kepada anak, dia akhirnya memilih tetap tidak melanjutkan sekolah (misalnya anak memilih untuk tamat sekolah menengah) atau melanjutkan sekolah dengan semangat yang lebih membara/memiliki tujuan jelas.
Bukankah memberikan kebahagiaan jika anak (penerus keluarga dan bangsa) menjalani kehidupan dengan penuh kegembiraan?. Bukankah kita mendapati bahwa penerus bangsa adalah orang-orang yang berbahagia dengan apa yang dilakukannya?. Perasaan puas terhadap profesi yang dikerjakan membuat orang menjadi puas terhadap diri sendiri lalu harapannya berguna bagi masyarakat. Sekalipun pekerjaanya adalah tukang sayur, maka dia akan mengerjakan dengan penuh sukacita. Tukang sayur yang berdedikasi penuh terhadap profesinya. Tukang sayur yang memperhatikan setiap detail-detail tanggung jawabnya. Tidak hanya tukang sayur, tetapi juga pegawai perusahaan. Pegawai perusahaan yang memutuskan untuk bekerja pada bidang tertentu dan celakanya dia menyukainya (menghidupinya), maka setiap tugas meskipun sederhana, mampu dia kerjakan dengan penuh sukacita. Karena dia (laki-laki dan perempuan) tau bahwa pekerjaan ini adalah pilihan dan dia menghidupinya. Profesinya bukan ditentukan orang lain, namun oleh dirinya sendiri.

**Sekian dan terimakasih**


Created by Rondang a.k.a. Solid Snake

No comments:

Post a Comment