<Peringatan: Tulisan tidak penting>
Barangkali salah satu ciri yang membedakan antara umat
manusia dengan binatang adalah bahwa manusia suka merayakan sesuatu. Begitu manusia
berkumpul, muncul seperangkat aturan. Lantas salah satu aturan yang pamali
dilanggar – di antara segepok peraturan lain – adalah aturan untuk m-e-n-g-i-k-u-t-i
p-e-r-a-y-a-a-n. Secara alamiah, ada perayaan datangnya musim hujan, datangnya
musim panas, datangnya panen, equinox, perihelium, aphellium, perginya
penyakit, datangnya wabah, datangnya menstruasi, datangnya menopause, 35 hari
setelah bayi lahir, ulang tahun, lustrum, dies natalis, sewindu, ulang tahun
perak, emas, diamond .... Dan semua itu seakan tiba-tiba disodorkan di bawah
hidung kita, tanpa kesempatan berkilah, untuk DIRAYAKAN. (Sungguh, bukan saya
yang menciptakan perayaan-perayaan itu. Siapa sih yang iseng punya ide bahwa sesuatu harus dirayakan?)
Pun agama datang, perayaan bertambah. Nasionalisme
menyeruak, setumpuk lagi perayaan dan upacara. Idealisme berebut, media
sosialita hingar bingar, muncullah “cause” ini-itu. Banyak! Berjibun. Masyaalloh! Apapun kostumnya, semua bermakna
tunggal: perayaan! Bahkan cairnya hutang dari IMF pun patut dirayakan.