Wednesday, July 17, 2013

Padi vs. Ubi, Jagung, dan Kentang

     Suatu logika yang normal (dalam hal kuantitas) bahwa tiga lebih besar daripada satu. Jika ada tiga orang (dengan semua kondisi sama) melawan satu orang, maka yang bertahan sampai akhir adalah kelompok dengan jumlah yang lebih banyak. Namun, pada kasus ini, kejadiannya, sebutlah terjadi di sebuah negara antah berantah yang katanya penduduknya berbahasa Indonesia, satu barang mampu mempermalukan tiga barang. Katanya, di negara yang berbahasa Indonesia tersebut, sumber karbohidrat yang paling mendominasi (sudah menggunakan kata ‘paling’ ditambah dengan kata mendominasi, apa ga dua kali lipat tuh efeknya?) adalah nasi also know as beras. Nasi pun begitu efeknya, dua kali lipat, paling banyak dijadikan asupan dan menjadi salah satu sumber penyakit diabetes, karena mengandung glukosa, DAN saya percaya nasi punya serat, tapi jumlahnya sedikit dibandingkan ubi. Ubi yang rendah glukosa, juga kaya serat (saya sudah membuktikannya). Jika Anda mengalami kesulitan untuk buang air besar (bukan air bah), silahkan konsumsi ubi (cukup 2 ubi), maka dijamin halal besok paginya Anda akan tersenyum gembira di dalam kamar mandi.
     Kembali kepada persoalan kalah jumlah, satu menghadapi tiga. Masakan penduduk Indonesia kalah melawan dominasi beras (lah, ini sudah berjumlah 200 jutaan jiwa). Ya wajar tetap kalah, orang tiga melawan satu saja, tetap menang si beras. Jangan-jangan ada yang salah dengan pola pikir kita. Apakah mungkin dengan memberikan informasi yang seakurat mungkin tentang sumber karbohidrat lain, yang rendah glukosa dan kaya serat, kita mampu mengalahkan dominasi beras?. Jika memang begitu, dengan banyaknya pengetahuan yang telah ditulis dan dirilis di berbagai media ilmu pengetahuan, produksi beras tetap bertahan pada posisi pertama. Juara bertahan yang abadi. Apa mungkin dari kitanya sendiri, penduduk yang katanya berbahasa Indoenesia, keras kepala dan malas untuk mengganti dengan sumber lain?. Apa mungkin kita juga yang tidak mau tau, meskipun sudah mengetahui bahwa ada sumber pangan lainnya yang mampu dijadikan alternatif, selain beras?.
     Saya percaya, jika kita mau membantu si Ubi, Jagung, dan Kentang mengalahkan si beras, maka harga beras akan tersaingi dan mau ga mau akan turun harga. Beras yang berkualitas bagus akan mampu dinikmati semua orang. Kok bisa?. Menurutku, jika sudah mau melirik sumber karbohidrat lainnya, salah satu contohnya adalah ubi, maka harga akan tersebar. Beban harga mahal pada beras akan tersalurkan kepada ubi, jagung, dan kentang. Hitung-hitung membantu si beras menanggun derita harga mahal. Si ubi dengan senang hati menjadi saingan apalagi ditambah kehadiran jagung. Menurutku ubi memiliki manfaat yang lebih baik daripada beras. Kaya serat dan rendah glukosa (dua hal ini saya ulangi terus menerus). Selain itu, pemeliharaan ubi terbilang gampang. Coba kita bandingkan dengan padi. Padi hanya memberikan satu manfaat, yaitu bulirnya. Daunnya, memang bisa digunakan sebagai pakan ternak. Tapi, daun ubi bisa juga jadi pakan ternak. Daun ubi bisa dimakan oleh manusia. Umbi dan daunnya memiliki kandungan serat yang berguna bagi manusia. Membuat kita rajin BAB dan mengikat lemak-lemak di dalam tubuh. Dapat kita jadikan sumber diet.
     Memang, pastilah muncul pikiran tidak gampang mensejajarkan beras dengan tiga teman kita ini, yaitu ubi, jagung, dan kentang. Karena penduduk yang berbahasa indonesia tersebut sudah terbiasa mengkonsumsi beras. Untuk pindah ke hal yang berbeda butuh waktu yang lama. Bukan masalah waktu, tapi lebih kepada kemauan kita untuk menjadikan ubi sebagai sumber alternatif. Pada saat terjadi krisis padi, gagal panen, atau harga gabah yang turun, seharusnya bukan malah menyalahkan pemerintah. Itu adalah pilihan kita untuk menanam.
Memang, permintaan pasar akan menentukan perilaku para pengusaha sumber makanan. Harga beras yang mahal, membuat para petani mengusahakan padi. Harga cabai yang mahal, mengakibatkan para petani menanam cabai. Hal ini wajar. Namun, kita tidak bisa hanya melimpahkan kepada bapak dan ibu tani. Usaha untuk mengubah pola pikir/paradigma tentang beras membutuhkan dukungan pemerintah. Pemerintah, dengan perantaraan menteri pertanian atau apapun itu namanya, mampu berperan aktif dalam mendukung gerakan perubahan perilaku mengonsumsi beras ke ubi, jagung, atau kentang. Sehingga, jika terjadi krisis padi, gagal panen. Kita masih tetap mampu bertahan dengan sumber pangan lainnya. Bukan menjadikan krisis padi (gagal panen, harga murah) sebagai hal yang terlalu lebay di media massa.
     Maka dari itu, mari kita memulai dari diri sendiri terlebih dahulu, mengubah perilaku konsumsi beras ke ubi, jagung, atau kentang. Sedikit demi sedikit dan dilakukan secara pararel (oleh semua warganya), akan menjadi gerakan yang masif. Bukan berarti sumber pangan lokal tergerus dengan ubi, jagung, atau kentang. Akan lebih baik jika masing-masing warga lokal mengetahui sumber karbohidrat, selain beras, jagung, ubi, atau jagung. Pada daerah Papua, sagu dan ubi menjadi sumber karbohidrat. Penduduk lokal mau dan bangga menggunakan produk lokal yang sehat dan mudah didapat. Semua orang mampu menghasilkannya sendiri sehingga kejadian krisis pangan (khususnya beras) akan angkat koper dari negara yang katanya berideologikan Pancasila dan memiliki Undang-Undang Dasar 1945.

Created by

Solid Snake

No comments:

Post a Comment