Monday, July 22, 2013

Hubungan Muntah dengan Gosip

     Pembicaraan tentang sesuatu hal ada yang menyenangkan dan mengenaskan. Hal itu jika ditinjau dari sisi akibat. Namun, jika melihat sisi lain, yaitu materi gosip, menurut pendapat pribadi saya, hanya berdampak menyenangkan.
     Membicarakan orang lain, baik itu berkenaan dengan sisi gelap (kebaikan) dan sisi gelap (kelemahan), adalah hal mudah. Apalagi jika kita membicarakan sisi kelemahan orang. Kelemahan orang lain menjadi materi gosip yang selalu berlanjut. Materi gosip akan berhenti hanya jika kita sudah lelah secara fisik (mulut capek berbicara). Materi gosip akan dibedah sampai kepada bagian paling kecil, bahkan ada kemungkinan melebihi ukuran paling terkecil dari satuan ukuran yang ada di dunia. Saya teringat akan pendapat umum bahwa “membicarakan kelemahan orang lain tidak akan habis, kecuali kiamat (frase ‘kecuali kiamat’ adalah tambahan penulis). Wow, salah satu hipotesis yang mengerikan tentang perilaku gosip dan bukan perilaku yang patut dibanggakan.
     Perilaku gosip bukan sesuatu yang bukan menghasilkan perubahan (secara positif). Perilaku gosip (dalam konteks membicarakan kelemahan manusiawi manusia) membuat kita, orang yang melakukan perilaku gosip tambah lebih buruk dari individu yang menjadi materi gosip. Kita, orang yang menggunjing sesama manusia, terlihat lebih menjijikkan. Seolah-olah kita yang memberikan kesaksian adalah yang empunya memiliki segala pengetahuan tentang orang lain, padahal secara riil TIDAK.
     Pengalaman personal saya tentang perilaku gosip terjadi pada 2 minggu, kalau tidak salah ingat tanggal 14 Juli 2013. Saya terlibat dalam perilaku gosip itu. Namun, ada hal yang menarik yang saya alami, yaitu perasaan ingin muntah. Saya memang melakukan gosip, tapi baru kali pertama ini muncul perasaan ingin muntah. Semakin saya mendengar teman-teman saya menggosip, semakin kuat keinginan untuk muntah. Apalagi ditambah saya ikut terlibat mengatakan sesuatu hal, perasaan muntah semakin kuat. Sehingga, jika seseorang menanyakan kepada saya, ‘apakah ada hubungan antara perilaku muntah dan perilaku gosip?’, maka akan saya jawab dengan tegas,’ YA, ADA.’
     Diskusi tentang hubungan dua perilaku yang menjadi tema tulisan ini, yaitu muntah dan gosip berlanjut lebih jauh. Menurut saya, ada hal lain yang menambah perilaku ingin muntah dengan gosip, yaitu perasaan muak terhadap diri sendiri. Perasaan muak oleh karena membicarakan kelemahan orang lain. Namun, hal menarik yang saya temui adalah perilaku membicarakan orang lain tentap dilakukan, seperti yang telah tertulis di paragraf sebelumnya. Hipotesis saya adalah perilaku ingin muntah dikarenakan kita memiliki titik jenuh. Semakin kita banyak terlibat dalam perilaku gosip, baik pelaku aktif maupun pasif, maka perasaan muak terhadap diri sendiri (dan akhirnya muncul perilaku mau muntah) menjadi turun. Jadi, korelasinya bersifat negatif. Semakin banyak berperilaku gosip, rasa muak terhadap diri sendiri (dan mau muntah) menjadi rendah. Namun, apakah mata hati kita sudah buta atas hal-hal positif/kebaikan, meskipun terbilang kecil?. Mungkin benar adanya peribahasa ini, ‘nila setitik menghancurkan susu sebelanga’. Bagaimana dengan keburukan diri sendiri?. Bagaimana perilaku hidup kita?.’ Semut di seberang pulau terlihat jelas, gajah di pelupuk mata terlewatkan’. Teori saya, perasaan muak yang dilanjutkan dengan perilaku ingin muntah adalah bentuk kesadaran. Kesadaran akan perilaku kita yang bukan pada kapasitasnya memberikan penilaian kepada sesama. Kesadaran untuk pergi menjauh dari perkumpulan gosip ATAU menghentikan perilaku gosip.
     Selamat merenungi diri kita sendiri.


by Solid Snake

No comments:

Post a Comment