Wednesday, July 31, 2013

Polengoid

Bapakku & Poleng (2008)
Sebongkah masa yang masif seakan menggelinding pelan di kedalaman ruang kosong. Sisi-sisinya yang tajam bergerigi meninggalkan sejalur debu kosmik. Di sana-sini, ketika cahaya Alpha Centauri menerangi samar, tampak lekuk-lekuk luar biasa yang terentang beberapa kilometer. Igir-igir mencuat hingga sekian ratus meter, dan lubang-lubang gelap entah berapa puluh meter dalamnya menjadi noktah-noktah gelap abadi. Menjadi takik, seperti gigi gemeligi, bak pecahan bola bekel raksasa yang habis dicakar-cakar anak gadis buto ijo, namun gelap. Seakan berkeretak ketika berputar. Dan bergerak lurus. Tanpa garis start, tanpa lini finish. Hanya Tuhan yang tahu sejak kapan bongkahan itu berputar dan menggelinding. Pelan tampaknya.

Hanya mereka yang kurang kerjaan – termasuk kalian – yang mempelajari cara mengukur besar dan kecepatan bongkahan asteroid yang lepas – ah, asteroid. Nama yang akrab namun senantiasa terlepas; meluncur di sela jari tangan ketika kau tangkap. Asteroid. Seperti nama seseorang.



Pun, katamu tadi ia meluncur 452 koma sekian kilometer per jam. Cukup pelan di belantara hampa nir gravitasi, saat persamaan Newton seakan memberinya kutukan untuk bergerak konstan tanpa henti: radial maupun linear. Katamu juga garis tengah terpanjangnya sekitar 15-an kilometer. Padat. Teleskop spektrum menangkap logam-logam berat berpadu dengan es padat. Bagaimana dan bilakah ia terlepas dari sabuk milyaran keping asteroid antara Mars dan Jupiter, hanya Gusti Alloh yang tahu. Kita tahu sedikit, lalu menuliskannya, mengkait-kaitkannya, mengutip postulat sana teori sini, menyeminarkannya,  mendiskusikannya, mengundang TV One dan infotainmen, dan lantas seakan kita banyak tahu. Tetapi esensi tak bisa kena tipu. Kita tetap sedikit tahu, dan sedikit belajar.

Bagaimanapun juga, di senja semacam ini , ketika Venus berbinar di pelupuk barat, benda itu – teror itu – akan muncul dari arah matahari tenggelam. Pertama-tama hanya seperti butiran halus, mudah disangka sebagai debu di atas lensa. Namun di hari berikutnya ia akan semakin terang. Dan coba, jika perhitunganmu benar, maka gravitasi Bumi akan menariknya dengan kuat sehingga kecepatannya berlipat-lipat. Lihat saja, ia akan semakin cerah memantulkan cahaya matahari. Dengan laju secepat itu, siapapun tak akan dapat menghindar. Pun Bumi, bunda segala yang hidup.

Benda itu – mungkin akan dinamai Polengoid (berdasar nama penemunya) – akan menubruk Bumi setara dengan milyaran kali bom Hiroshima. Mengangkat berton-ton debu ke udara, mengotori atmosfer, menutupi sinar matahari, menebar radiasi beribu kilometer, memusnahkan spesies, menciptakan kiamat. Akan muncul musim dingin nuklir yang muncul di milenium ini – setelah berjuta tahun planet ini merasa aman dan nyaman. Akan muncul tanda merah dalam peradaban manusia – dan eksistensi Homo sapien di ambang sirna. Dus, Polengoid menjadi musuh segala yang hidup dan bernapas. Bahkan segala-galanya yang tak bernapas pun – jika bisa ditanyai – pasti akan menunjuknya sebagai musuh besar. Penjahat. Teror. Pembumi hangus peradaban. Perusak keseimbangan. Penghancur segala.

Lalu Bruce Willis akan datang dengan proyek Armageddon-nya untuk memecah Polengoid. Batman akan keluar dari sarangnya di Gotham. Superman akan mendedikasikan seluruh keperwiraannya demi keselamatan Bumi, tempat Lois Lane dan 7 milyar manusia menjaring nafkah. Tony Stark akan menghitung segala upaya paling logis dan teknis. Para avatar berkongsi, para wartawan berebut liputan eksklusif seperti lele berebut pelet, para penguasa mengubur dalam-dalam egonya demi keselamatan dirinya. Ya. Planet Bumi besatu melawan Polengoid. Earth v.s. Polengoid. Ya, Ebiet G. Ad. sedang  menggubah lagu paling merana untuk menggambarkan kehancuran Bumi. Jokowi frustrasi gagal membuat monorel untuk Polengoid. Tetapi kiamat harus dilawan. Kodrat iso diwiradhat.

**
Si Asteroid menggumam tak jelas. Ia ternyata hanya ingin pulang. Ingin rasanya mendarat pelan-pelan di lepas pantai atau di lembah UGM, atau di lapangan bola dekat Mranggen, tempat ia dulu suka bermain sepak bola. Ingin menyelinap diam-diam selepas tengah malam agar tak satupun menyadari kehadirannya. Namun apa daya, manusia lebih heboh dan rempong ketimbang ayam hendak bertelur. Kini, rumah tak lagi menyapa. Bumi memusuhi. Karena ia adalah asteroid. Lambang bencana paling mengerikan. Simbol kepunahan raksasa-raksasa Dinosaurus. Ah. Rumah tak selalu hangat.

Bagaimana mengapa dan kok bisa? Sekali lagi hanya Sang Khalik yang besa berjawab. Polengoid ingin pulang, namun sedikit nalar di benaknya yang bergurat-gurat merasa bahwa pulang akan menghanguskan. Milyaran tahun lalu – konon kata orang tua – ia adalah bagian dari nebula yang membentuk Bumi. Lalu terlepas menjadi planet yang beredar. Planet keempat. Atau kelima jika Vulcan dihitung. Lalu ia pecah. Porak poranda menjadi debu dan butiran kasar. Menjadi milyaran Asteroid. Etika dunia planet pasti akan mengerti bahwa sudah saatnya ia pulang: siapa tahu ada petualangan baru di rumah.

Rindu dan kangen konon hanya bisa direntang namun mustahil diobati. Hasrat untuk membumi bagaikan kredo yang mendesir setiap saat selama milyaran tahun di sanubari Polengoid. Bak dahaga yang abadi, mirip lapar yang menusuk, dan setengah gila meraih keping-kepingan setengah waras yang lain. Kenangan dan roman hanya untuk bocah, desisnya. Bukan untuk entitas berusia milyaran tahun. Semua hasrat terhalus pun kini menjadi batu padat. Keras, tumpul, dan jelek. Namun tidak bisa ditekuk, apalagi dilipat dimasukkan saku. Bisanya hanya hancur atau menghancurkan. Ih …

Namun, sekali lagi guratan-guratan kotor itu menegang, membulak-bulak dan berasap. Polengoid – di kesempatan terakhirnya – berpikir keras. Otaknya yang mengeras diajak berpikir keras. Amat sangat keras. Coba kalian bayangkan sendiri. Dan setelah mendesah-desah, berteriak-teriak dengan perasaan tercabik, Polengoid memutuskan batal pulang. Gagal mudik. Merasa hampa dan muspra bak tersiksa puasa di Ramadhan tanpa Idul Fitri. Memilih hancur atau menghancurkan. Meniada demi mengada yang lain. Tak mudah, tapi koin harus dilempar. Gambar Bumi di muka.

Di detik terakhir, sebelum keburu lasernya Superman membelah, sebelum pesawatnya Bruce Willis diiringi “Leaving on a jet plane” tiba, Polengoid melakukan upaya terakhir untuk berputar. Mengubah jalur, menentang persamaan Newton, memelencengkan diri ke sisi Bumi. Tubrukan terhindari.

Manusia lega penuh syukur. Para pahlawan diangkat. Panji-panji berkibar.

Para pemimpin agama yang merindukan kiamat kecewa.

Polengoid lewat lurus terus tak berhenti. Mau mengejar USS Enterprise, katanya.


No comments:

Post a Comment