Tuesday, July 16, 2013

Celebration

<Peringatan: Tulisan tidak penting>

Barangkali salah satu ciri yang membedakan antara umat manusia dengan binatang adalah bahwa manusia suka merayakan sesuatu. Begitu manusia berkumpul, muncul seperangkat aturan. Lantas salah satu aturan yang pamali dilanggar – di antara segepok peraturan lain – adalah aturan untuk m-e-n-g-i-k-u-t-i p-e-r-a-y-a-a-n. Secara alamiah, ada perayaan datangnya musim hujan, datangnya musim panas, datangnya panen, equinox, perihelium, aphellium, perginya penyakit, datangnya wabah, datangnya menstruasi, datangnya menopause, 35 hari setelah bayi lahir, ulang tahun, lustrum, dies natalis, sewindu, ulang tahun perak, emas, diamond .... Dan semua itu seakan tiba-tiba disodorkan di bawah hidung kita, tanpa kesempatan berkilah, untuk DIRAYAKAN. (Sungguh, bukan saya yang menciptakan perayaan-perayaan itu. Siapa sih yang iseng punya ide bahwa sesuatu harus dirayakan?)

Pun agama datang, perayaan bertambah. Nasionalisme menyeruak, setumpuk lagi perayaan dan upacara. Idealisme berebut, media sosialita hingar bingar, muncullah “cause” ini-itu. Banyak! Berjibun. Masyaalloh! Apapun kostumnya, semua bermakna tunggal: perayaan! Bahkan cairnya hutang dari IMF pun patut dirayakan.


Barangkali template “Lahir, hidup, pacaran, tunangan, melahirkan, naik pangkat, rumah pertama, bisnis pertama, pensiun, meninggal, peringatan 7 hari, peringatan 100 hari, peringatan 1000 hari ...” adalah hanya serangkaian peringatan dan perayaan agar jalan hidup manusia mudah dipahami dan dihafalkan; supaya manusia yang sulit diatur dapat berderap di atas rel yang sama dan cukup seragam. Mungkin demikianlah. Semua seperti titik-titik yang membentuk garis-garis simetris (sementara gegunung lembah dan air terjun bermegah karena asimetrisnya. Ssst ... kita memang konyol). Barangkali di bawah sadar, secara komunal, manusia ingin dirinya mudah ditebak. Dengan demikian peristiwa demi peristiwa sudah seharusnyalah dapat diprediksi. Kalau perlu dipersiapkan dan dibuat juklak-nya. Bukankah sejarah membuktikan bahwa mereka yang dihakimi massa adalah orang-orang yang hidupnya tidak sesuai dengan commonly juklak? Bahkan peramal pun hanyalah orang yang menegaskan hal-hal yang memang pasti terjadi. Bagaimana pun juga, hal itu semua – kontrol itu semua – niscaya akan memberi rasa aman bagi komunitas, terlebih bagi penguasa.
Bagaimanapun juga – anyway – aku tak sedang berusaha membuat siapapun merasa nyaman. Bahkan juga diriku. Namun demi “perayaan” Ramadan dengan badai konsumerisme di sore hari (dan semakin sistematis mendekati Idul Fitri), dan demi berlembar kertas tisu yang dibuang langsung dari mobil yang berjalan, dan demi hal-hal yang patut dirayakan tanpa mengundang siapapun – bahkan tak harus menyenangkan, maka inilah perayaan yang kumaksud: perayaan untuk menyadari diri kita hadir di sini saat ini. Diriku, dirimu, dirinya, diri siapa saja.

Di dalam perayaan diri masing-masing yang barangkali penuh liku tak terselami, maka izinkahlah saya – secara pribadi tanpa perlu mengajak-ajak – untuk merayakan munculnya blog ini. Sebagaimana perayaan dapat begitu umum dan mendunia, perayaan juga bisa sangat pribadi dan rahasia nan sederhana. Maka dari itu, izinkanlah saya merayakannya secara diam-diam. Tanpa standar, tanpa acuan. Mungkin dari situ Tuhan mau berbisik, mendongeng dan berkisah. Mengada sepotong demi sepotong.

PS: Selamat merayakan sahur dan berbuka puasa. Selamat menunaikan Idul Fitri.


No comments:

Post a Comment