Tuesday, July 16, 2013

menulis adalah bekerja untuk keabadian?

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Itu adalah penggalan kalimat yang tidak sengaja kutemukan saat ‘mencuri baca’ di toko buku Gramedia Amplaz. Karena mencuri-curi, aku tidak sempat melihat judul novel itu. Yang kuingat, di bawah penggalan tulisan kalimat itu tercetak sebuah nama- Pramoedya Ananta Toer. Sampai saat ini, aku hanya tahu bahwa identitas profesi yang melekat pada nama itu adalah PENULIS. Aku belum pernah membaca satupun buku yang ditulisnya. Jadi kenapa malam itu aku bisa terpukau pada kutipan kalimat ini? Begini ceritanya.


Beberapa waktu lalu, seorang teman (sebut saja inisialnya R.O.N.D.A.N.G) mengusik pemikiranku dengan suatu fakta. Aku tidak hapal betul bagaimana formulasi kalimat yang diucapkannya, tapi beginilah kira-kira ringkasan obrolan kami:  “kalau kita tidak menggunakan suatu keterampilan dengan intensif, maka keterampilan itu lambat laun akan hilang. Otak seperti punya mekanismenya sendiri untuk memutuskan hubungan neuron ketika suatu keterampilan tidak kita gunakan. Nah, belakangan ini kita terbiasa menggunakan keyboard. Entah itu pada laptop maupun hp. Kira-kira keterampilan kita untuk menulis dengan tangan lambat laun akan hilang tidak?”

Selanjutnya, teman satu ini bercerita tentang bagaimana dia mulai mendisiplinkan diri untuk menulis setiap hari dengan menggunakan tangan. Menyediakan waktu setiap paginya sebagai moment dimana keterampilan tangan untuk menulis mendapat penghargaan yang optimal. Bukan tulisan yang panjang, katanya. Hanya seperempat kertas A4 yang perlu dipenuhi oleh tulisan tangannya. Bagiku, obrolan ini menjadi semacam satu titik kecil yang menunggu titik-titik lain untuk bermunculan. Tidak terlupa begitu saja, tapi tidak juga sampai memenuhi pikiranku.

Hari berikutnya, seorang teman yang lain (sebut saja inisialnya N.O.N.O.P) tiba-tiba mengungkapkan semacam kegalauannya tentang keterampilannya untuk menulis. Lagi-lagi kalau tidak salah ingat, beginilah ringkasan obrolan kami: “belakangan ini aku sudah jarang menulis. Gara-gara kita sering membahas tentang literasi, kok aku jadi kangen menulis ya? Pingin memulai lagi. Tapi rasanya pingin menulis terus mendapat feedback. Jadi biar nggak merasa sendiri. Gimana kalau kita menulis bersama?”

Nahlooo...virus apa gerangan yang menjangkiti kedua teman ini? Begitu pikirku. Bagiku ini semacam titik kecil lain yang muncul dan dapat dihubungkan dengan titik yang kemarin mendadak muncul. Lucunya, dua titik ini ternyata diikuti oleh titik-titik lain yang mendadak bermunculan. Seperti ketika melihat bintang di malam yang terang. Awalnya kamu bisa menemukan satu bintang. Lalu semakin terbiasa matamu dengan kegelapan, kamu akan bisa menemukan puluhan, bahkan ratusan bintang lainnya.

Seorang teman lain (sebut saja inisialnya N.O.E.L- yang satu ini harus disebut dengan penuh rasa hormat agar lanjut umurmu di tanah yang dijanjikan Tuhan. Hehehe...), ternyata menanggapi ajakan ini dengan antusias. Dimulailah percakapan tentang teknis menulis bersama. Tapi, karena kami semua ini tampaknya adalah sekumpulan orang I (introvert) yang mengalami GPP (gangguan pemusatan perhatian), maka perihal tulis menulis ini tiba-tiba terhenti karena munculnya banyak usulan untuk dipertimbangkan. Apakah akan membuat blog untuk ditulisi secara keroyokan? Atau meluangkan waktu sejenak untuk bersama-sama membiasakan tangan masing-masing untuk menghasilkan tulisan? Atau menyediakan buku tulis untuk sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai semacam ruang muntah bersama saat tiba-tiba ada monyet-monyet liar yang secara acak menghubungkan berbagai kabel yang seliweran di otak?

Setelah beberapa titik-titik inilah, moment perjumpaanku dengan kristal buatan Pramoedya muncul. Bagiku kalimat beliau itu semacam titik yang membuatku kecanduan untuk mencari titik-titik lain. Penasaran gambar apa kira-kira yang akan muncul setelah semua titik itu dihubungkan. Dengan antusias, aku lalu membagikan kalimat Pramoedya itu kepada 2 teman yang memunculkan titik-titik awal. Seingatku, Nonop dan Rondang tersenyum manggut-manggut setelah membaca kalimat itu.

Dan keesokan harinya, aku dikejutkan dengan ajakan sodara Noel untuk bergabung menulis blog bersama. Voalaaa!! Lahirlah blog yang berjudul: Judulnya Tentang! (Hebat ya nama blog kami!)Persalinan dan urusan akte kelahiran diurus sepenuhnya oleh sodara Noel. Kami semua hanya tinggal ikut menandatangani akte kelahirannya.

Malam ini aku tidak bisa tidur. Sudah 3 jam glundang-glundung dengan pikiran yang tidak mau meniru lampu kamar yang sejak tadi sudah kumatikan. Satu pikiran yang tiba-tiba muncul, “apa ya yang dipikirkan oleh Bunda Teresa, Romo Mangun, atau orang-orang hebat lainnya kalau mereka tidak bisa tidur?”. Belakangan ini memang aku sedang penasaran dengan kisah orang-orang hebat. Entah bagaimana, monyet-monyet di kepalaku tiba-tiba menghubungkan pertanyaan ini dengan salah satu sketsa stand up comedy yang menampilkan pemikiran iri seorang KRISTINA MARTHA TIAHAHU terhadap R.A KARTINI. Seingatku, keduanya sama-sama mendapat gelar pahlawan nasional. Tapi hanya R.A Kartini yang mendapat jatah satu hari untuk diingat sebagai hari miliknya. “ah! sudah capek-capek kita angkat senjata, tapi tidak ada hari yang dikhususkan untuk mengingat kita. Si Kartini itu, cuma angkat pulpen saja sudah dapat satu hari yang diberi namanya. Tau begini kita pun angkat pulpen saja ya!”.

Ironis bukan! Tapi begitulah kenyataannya. Tidak satupun dari kita tahu dengan pasti bagaimana kisah perjuangan nona KRISTINA. Tapi ada banyak tulisan yang bisa bercerita tentang kisah perjuangan jeng KARTINI. Betapapun kuatnya budaya lisan, terbukti bahwa tulisanlah yang dapat meneruskan peradaban. Segala sesuatu di bumi ini mengalami perubahan. Begitu juga dengan ingatan. Penuturan kembali ingatan secara lisan, mau tak mau pasti mengalami dampak perubahan. Mungkin ada kisah yang terlupakan. Mungkin pula ada yang mendapat tambahan. Tapi pemikiran yang terkristal dalam kata-kata yang tertulis akan mempertahankan sendiri ingatannya. Semacam mengabadikan moment yang terjadi.

Pepatah mengatakan, tiada yang abadi kecuali perubahan. Lalu apa artinya “menulis adalah bekerja untuk keabadian?” mungkin karena kata-kata yang tertulis dapat menangkap berbagai perubahan yang terjadi. Kata-kata yang tertulis itu semacam pelayan yang melayani perubahan agar menemukan bentuknya untuk dikenali. Kalau perubahan itu mengalami perubahan lagi, masih ada banyak sekali kata yang dapat dipilih untuk menangkap dinamikanya. Begitukah? Aku tidak tahu pasti. Belum menemukan ada tulisan yang menjelaskan apa maksud Pramoedya menuliskan kalimat itu.

Ah! kalaupun pikirku ini kurang tepat, tak apalah. Setidaknya, bagiku menulis itu bekerja agar aku tak perlu terus membuka mata karena tidak bisa tidur. Oaheem...

Bagiku saat ini, menulis itu boleh juga kok bekerja untuk sejenak tidur yang nyenyak agar tak terburu-buru menikmati keabadian. Zzzzzzzzzz ...

2 comments:

  1. Menarik. Kemunculan pertama Eyang Pram di blog ini. Sekaligus tulisan pertama yang muncul dengan rapi ... Ah, kok pria-pria selalu kalah rapi ya. Bener ga to Bang Rondang?

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahaha... indikator kerapian tulisan di blog ki piye?

      Delete