Tuesday, May 20, 2014

Si Darpan

(foto: Noel)

(ini tulisan lama) Akhir-akhir ini – menurutku – udara terasa panas. Sumuk. Gerah. Bukan lagi hangat menenteramkan, tetapi lebih ke pengap-panas-kemrungsung. Siapa bilang “zamrud khatulistiwa” itu masih sejuk panjang sabar? Kini hanya ada bongkahan tanah liat panas yang terpapar musim pancaroba sepanjang tahun. 

Seakan-akan ada gumpalan panas udara masif yang enggan beranjak dari atas kota ini.  Sepertinya udara yang melayang-layang di sana begitu malas untuk pergi jauh ke ujung bumi. Kemudian hawa sumpek itu berlipat ganda ditambah setiap keluhan, dikalikan umpatan, dikuadratkan tatapan putus asa “bagaimana-cara-mendinginkan-diri”, lalu semuanya itu bertumpuk-tumpuk di depan pintu kamar kita. Sumpek-sumpek ini juga saling berpanjatan, bergulingan, menyatu, jalin-menjalin,berkelindan, menjadi adonan kental yang rasanya tidak enak. Huek.


“Kamu ngerasani aku ya?” tiba-tiba terdengar suara dari langit. Karena aku bukan nabi yang biasa mendengar suara dari atas maka aku cukup terlongong. Campur mak tratap. Tuhan? Setan? Iblis? Lucifer? Mikael? Nabi Musa?

“Panggil aku Darpan. Aku terpaksa ngomong sama kamu karena nggak tahan banyak orang membicarakan aku. Bosan. Bikin be-te.”

Ah, si Darpan. Jadi bukan Tuhan. Lalu kuberanikan diri menatap ke atas. Seperti sudah kuduga, tidak ada siapa-siapa. Tetapi, siapa yang kurasani, selain udara panas?

“Ya itu aku, bego. Dar-pan. Udara Panas. My nickname.”

Oalah. Ya, ya. Rupanya Om Darpan ini sensitif dan bisa baca pikiran orang. Jadi si udara panas sial ini bisa bicara pula rupanya. Punya emosi, punya suara, dan jelas bukan sejenis malaikat seperti Michael Landon.

“Apa maumu, Pan?” tanyaku ogah-ogahan. Dengan hawa seperti ini, aku lebih suka si Darpan pergi ke laut saja. Akubutuh tidur. Bukan ngobrol tidak penting bersama sosok konyol dari langit yang terang-terangan sepanjang hari membuatku lebih suka menjadi ikan paus, berenang di laut dalam di suhu 4 derajat.

“Aku mau protes!” serunya. 

“Eit! Sembarangan. Aku ini yang mau protes. Mewakili warga se-Yogya. Protes karena kamu nggak pergi-pergi, berminggu-minggu Cuma melayang di sekitar sini menebarkan aproduktivitas, menyebarkan kemalasan, bikin orang bete, membuat orang marah, ...”

“Justru itu. Kamu pikir hanya kalian yang tersiksa? Kamu pikir aku – kami – senang melihat kalian, spesies seculas HIV dan ebola? Aku lebih suka pergi ke gunung, melepaskan panas, lalu main ke sela-sela pohon rindang. Bukan di sini.”

“Kenapa kamu tidak pergi saja?”
“Kamu ini tolol atau kehilangan akal sehat?”
“Mungkin aku berhalusinasi karena ngomong sama udara panas.”
“Eh, justru itu satu-satunya hal waras yang bisa kamu lakukan. Ngomong sama aku.”
Aku membatin, lha bukannya si Darpan ini yang ngajak aku ngomong duluan?
“Aku – sang Darpan – harus mengambil langkah menyedihkan ini untuk mau ngomong sama kamu. Karena kalian tidak ingin aku pergi dari sini.”
“Siapa bilang? Pergilah, Pan. Aku bosan di sekitarmu.”
“Itu kan kata mulutmu, tapi sebenarnya hatimu nggak ingin aku pergi. Lha wong aku ini bagian dari dirimu. Aku ini lahir bersama dirimu. Dan setiap saat kamu membuatku semakin panas.”
“Huss. Aku tak pernah punya sodara begituan.”
“Dan kita terjebak untuk semakin panas karena kamu memusuhiku.”
“Bukannya kamu yang memusuhiku dengan menebarkan hawa panas?”
“Kamu yang tidak memperhatikanku sehingga aku tak bisa menyembunyikan hawa panas.”
“Lalu apa maksudmu dengan ini semua? Bicara padaku di tengah malam, dengan logika yang tak ada ujug pangkalnya?”
“Kamu sudah tahu maksudku. Aku ingin kamu melihat dengan sudut pandang lain. Pikiran lain. Dan bukan kamu saja. Tetapi seluruh tetanggamu. Agar menganggapku sebagai teman.”
“Terus? Kamu paksa aku berteman dengan udara panas?”
“Aku ini udara, bego. Panas-dingin itu kan Cuma istlahmu. Panas-dingin itu kudapat dari kalian. Dari setiap kon-blok yang kalian pasang, dari setiap pohon yang kalian buang, dari setiap kondenser AC yang kalian nyalakan, dari setiap AC raksasa di mal raksasa, dari setiap ayam goreng imitasi yang kamu makan, dari setiap cc bahan bakar karbon yang kamu pakai. Jelas?”
“Aku tahu arahmu. Kamu Cuma mau bilang go green kan? Sudah basi, bung.”
“Dan komentarmu itu juga jauh lebih basi. Makanya jangan omong dulu. Dengarkan dulu penjelasanku: kalian ini terlalu sibuk mengkonsumsi. Makan ini itu, beli ini itu, buang ini itu. Makan lagi. Makan lagi. Dan yang kalian makan itu adalah cadangan masa depan.”
“Kamu pingin kami semua puasa? Terus kalau sudah puasa, udara akan dingin, begitu?”
“Aku ingin kalian berhenti mengkonsumsi apapun di luar kebutuhan. Gunakan otakmu yang tak seberapa itu untuk memikirkan agar kalian bahagia, bukan agar kalian senang . Dan bahagia itu tidak pernah datang hanya dari makan. Kalau begitu cara pikirmu, ya kalian hanya setaraf virus HIV. Hanya bisa hidup dengan cara pindah dari satu sel inang ke sel lainnya. Sampai seluruh semesta habis. Bahagia itu, ya bocah, adalah selaras dengan apa yang ada di sekitarmu: tanah, air, udara, bebatuan, pohon, binatang. Kalian sedikit sedikit berebut, lalu setelah kecewa, merasa diri menjadi korban keadaan. Seakan kami ini jahat pada kalian. Padahal semua hal konyol yang kalian lakukan secara kolektif telah menciptakan ‘aku-yang-panas-dan-jahat’.”
“Jadi kamu melarangku untuk menjadi maju, sejahtera, dan seterusnya?”
“Hahaha ... sejak kapan kesejahteraan diukur dari apa yang kamu makan? Pemimpin-pemimpinmu yang bego itulah yang mengukur kemajuan dari apa yang dibeli orang. GDP, GNP, UMK., UMP, apapun namanya, itu ukuran yang kamu pakai kan? Seakan-akan dunia akan menjadi semakin beradab jika kalian bisa membeli. Kuberi tahu rahasia: kemajuan itu adalah bagaimana, bukan apa. Ini bukan soal apa yang akan kalian raih, tetapi perkara bagaimana hal itu diraih. Ini bukan soal apa yang belum kalian miliki dan ingin kalian kuasai, tetapi lebih pada bagaimana kalian hidup berdampingan dengan segala hal yang sudah disediakan semesta. Kemajuan berarti membuat satu anak tertawa, membantu serangga menemukan sarangnya, dan membuat satu batang pohon hidup lebih subur. Karena sampai kapanpun hidupmu hanya bergantung pada semesta di sekitarmu.”
“Kamu membingungkan.”
“Karena kamu egois, dan ingin berkompetisi, sehingga kamu bingung ketika disuruh berhenti. Garis finish itu ada di sampingmu. Keluarlah dari jalur, melangkahlah menemui orang-orang. Buatlah kemajuan, bukan pencapaian tingkat konsumsi; tetapi pencapaian tingkat pengelolaan.”
“Oahemmm ... kata-katamu makin bikin kantuk. Terus, apakah dengan semua omong kosongmu itu udara jadi dingin?”
“Tentu saja. Anak SD pun tahu. Ini masalah klasik. Tapi syaratnya ya harus dilakukan semua orang. Sedunia. Bersama-sama. Menjadi gerakan bersama. Aku ini hanya masalah fisik, yang hanya akan pulih dengan tindakan fisik.”
“Mustahil.”
“Lebih tepatnya ‘hampir mustahil”
“Terus apa gunanya kamu omongkan?”
“Karena harus dimulai. Demi anak cucumu, atau anak cucu tetanggamu.”
“Dan sementara itu ...”
“Sementara itu, terimalah untuk merasa gerah dan sumuk untuk 10 atau 25 tahun lagi. Itupun kalau kamu – kalian – memulainya sekarang. Jika enggak, mungkin tak lama lagi kalian semua harus hidup di dalam tanah.”

Lalu kupaksakan menutup mata agar si Darpan pergi karena mengiraku sudah tidur. Lalu aku bermimpi menjadi ikan paus.

No comments:

Post a Comment