Thursday, August 15, 2013

Dan TUHAN pun tertawa renyah, sekeriuk kerupuk keriting

Dua minggu yang telah lewat, dalam minggu di antara bulan Juli dan Agustus, penulis mengamati kejadian-kejadian menarik yang terbit di sekitar lingkungan. Sumbernya beragam. Sumber pertama berasal dari pengamatan secara langsung, sewaktu duduk di sebuah warung makan kecil di dekat kos penulis. Sumber kedua bersumber dari percakapan secara langsung dengan manusia lain di dunia ini. Sumber ketiga tertangkap dari sumber audio yaitu, siaran langsung salah satu stasiun di yogyakarta. Kala itu penulis sedang duduk di kamar kos sambil menyetrika pakaian. Penulis mencoba mengolah kejadian-kejadian mengesankan yang telah diamati maupun didengar, menjadi sebentuk refleksi pribadi. Kata yang terbit adalah perilaku mengeluh dan rasionalisasi.

Perilaku rasionalisasi tertangkap oleh telinga pada saat penulis mendengarkan sebuah lagu dari seorang penyanyi solo pop melalui media radio. Hal yang menarik perhatian penulis adalah bagian kecil dari keseluruhan syair lagu tersebut. Kira-kira begini syair tersebut, ‘...mungkin TUHAN menyayangiku sehingga Dia menunjukkan semua hal yang buruk dari dirinya...’. Sebelum bagian kecil syair ini, penyanyi itu menyatakan perasaan sedih dan ketidaknyamanan atas perilaku buruk dari kekasih hati yang begitu dikasihinya. Kemudian muncul, syair bahwa TUHAN mengasihinya dengan memperlihatkan keburukan-keburukan yang ada pada pasangannya. Mendengarkan syair lagu tersebut, penulis secara spontan berujar, ‘rasionalisasi’. Rasionalisasi bahwa TUHAN memisahkan dirinya dari sang kekasih hati yang dia anggap menyakiti dirinya dan dianggap penyanyi sebagai bentuk kasih sayang TUHAN. Kenapa penyanyi tidak mampu menyatakan tentang perasaannya yang dialami atas kejadiaan yang menyakitkan? Kenapa penyanyi lari dari perasaan atau kondisi-kondisi kurang menyenangkan? Kenapa kita melemparkan beban untuk bergumul dalam kondisi buruk kepada TUHAN? Kenapa kita meminta TUHAN yang memikul segal bentuk kepahitan atas relasi yang terjadi antara dua manusia, padahal nyata-nyata kita yang memulai dalam proses relasi interpersonal tersebut?.
Penulis pikir dan rasa bahwa segala bentuk kepedihan atas penderitaan yang terbit atas dirinya oleh karena menjalin kisah asmara dengan orang lain adalah dikarenakan oleh dirinya juga. Dirinya memiliki andil, mungkin lebih besar, daripada TUHAN. Penulis mempercayai bahwa TUHAN, Sang Khalik pencipta bumi dan langit, adalah Sang Mahakuasa yang berdaya atas segala ciptaanNya. Namun, penulis geram dan ribut atas syair yang dibuat oleh, mungkin oleh penyanyi sendiri atau orang lain. Seolah-olah duka nestapa yang diperolehnya adalah, mungkin dari TUHAN Sang Mahakasih lagi Mahapenyayang.
Kenapa kita enggan berkaca dan melihat ke dalam diri kita sendiri?. Mengapa kita, manusia, kurang mau duduk sebentar untuk merenungi kejadian-kejadian yang dialami, entah itu bahagia atau duka?. Sampai kapan kita, manusia, meratapi suasana duka yang sebenarnya kita buat sendiri?. Kenapa kita belum mau menjadi orang yang bertanggunjawab atas pilihan-pilhan yang telah dibuat?. Lari dari konsekuensi-konsekuensi pilihan-pilihan yang telah dibuat? Kenapa kita tidak berusaha mencari jalan keluar, yang secara sehat, bukan melemparkan kondisi-kondisi menyedihkan kepada takdir yang telah TUHAN berikan atau oleh karena TUHAN Sang Pencipta mengasihi diri manusia? (Saya rasa TUHAN bakal tertawa melihat perilaku kita yang seperti anak kecil ATAU diam saja memandangi kita yang merengek-rengek sambil berguling-guling di lantai untuk dibelikan balon). Saya kembali jadi ingat perkataan teman saya, ‘terlalu banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab tentang kondisi yang terjadi di Indonesia, our beloved country?’
Penulis pikir dan rasa (lagi), pada saat kita tenang sebentar, mengingat kejadian-kejadian yang telah lewat, menarik makna, memeriksa diri sendiri, lalu bangkit untuk berjalan kembali, membuat kita belajar untuk berdaya. Belajar berdaya untuk mengusahakan terlebih dahulu usaha atau cara keluar dari kubangan masalah. Belajar berdaya untuk menemukan kekuatan diri yang telah TUHAN berikan sehingga kita bisa beradaptasi dengan lingkungan yang senantiasa dinamis. Penulis memiliki kepercayaan bahwa semua mahluk ciptaan TUHAN memiliki kemampuan untuk berdaya dalam mengarungi kehidupan di bumi. Kemampuan untuk berdaya perlu kita cari. Masing-masing mahluk ciptaan berusaha untuk mencari kemampuan yang membuat dirinya bertahan dalam kehidupan. Berusaha yang terbaik sampai mencapai titik jenuh lalu berkata, ‘TUHAN, semua jalan yang terbaik dan positif sudah aku lakukan, aku pasrah terhadap hasil yang Engkau berikan’.
Pengalaman mendengarkan lagu itu memberikan pelajaran berharga lainnya bagi penulis untuk selektif dalam mendengarkan lagu ataupun hati-hati dalam mendengarkan lagu. Penulis pikir, syair lagu memiliki kekuatan yang kecil namun jika kita dengarkan berulang-ulang, mampu menjadi kekuatan besar sehingga mempengaruhi kondisi psikis kita.

Menjadi manusia yang ‘sehat’ (berdaya)  atau selalu lari dari kenyataan adalah pilihan kita. Namun, kita perlu bersabar kepada diri kita sendiri mampu kepada orang lain. Ada orang yang telah mencapai titik berdaya, tetapi ada orang lain masih belajar untuk mencapai titik tersebut. Saya jadi teringat perkataan salah satu pengajar di universitas, yaitu ‘do the best and leave the rest to GOD’ (Usahakan yang terbaik, serahkan sisanya kepada TUHAN).

No comments:

Post a Comment