Thursday, August 15, 2013

merasa dicintai

11 Agustus 2013. Itu sabtu sore. Sore itu sama seperti sore biasanya. Mandi air hangat, berpakaian nyaman, bersiap menikmati altarnya. Satu hal yang selalu kutunggu dari sabtu adalah sore ketika altarnya terbuka untuk ditapaki kaki-kaki kecil. Ketika ia yang berjubah mau berbagi panggung dengan celoteh anak-anak. Ibadah sabtu itu sungguh unik, menurutku. Baru kali ini aku menemukan ada gereja yang memberi ruang bagi anak-anak untuk berlarian naik ke altar. Tidak seperti di tempat lain, ketika melihat anak-anak berlarian ke altar, di sini semua mata tua itu hanya bisa memandang dari kejauhan. Tidak ada yang berteriak melarang. Semua mengantarkan langkah kaki-kaki kecil itu naik altar dengan wajah yang tersenyum. Walaupun aku tak ada dalam kumpulan bocah yang berlari itu, aku seringkali menemukan jiwaku jingkrak-jingkrak, bahkan membuat tarian suka-suka. Ngintil dalam sukacita anak-anak yang berlari itu...


Hanya bagian itu yang biasanya bisa aku nikmati dengan utuh. Adakalanya setelah anak-anak itu berlalu dari altar, jiwaku pun lalu kembali meringkuk. Berusaha nyaman di tempat duduk yang dingin. Aku memperhitungkan sebagai keberuntungan kalau lagu-lagu yang dinyanyikan diaransemen dengan unik. Begitu juga kalau ia yang berjubah di atas sana itu menyampaikan kisah dengan tetap mengingat hakikat sebagai manusia. Tapi sore yang lalu ini bukan hanya sebuah keberuntungan. Bagiku ini sebuah keajaiban. Karena lagi-lagi aku merasa dicintai. Ini yang membuatku merasa dicintai sore itu...


Keselamatan itu semacam tiket gratis untuk menikmati Tuhan.
Bukan pengumpulan poin- semakin banyak poin yang kamu dapat maka semakin tinggi level surga yang akan kamu nikmati. Semakin banyak poin yang kamu kumpulkan maka semakin banyak fasilitas surga yang dapat kamu nikmati.Nah, sampai sejauh ini siapatah yg sudah menjadi pengumpul poin terbanyak? 
Bukan pula permainan jungkat-jungkit keseimbangan. Kalau berat “baikmu” lebih banyak daripada berat “jahat”mu maka kau mendapat bagian surga. Kalau sebaliknya maka kau dibuang ke neraka. Nah, kalau timbangannya seimbang? Mungkin surga akan mempertimbangkan untuk mencari timbangan yang baru. No one knows... 
Keselamatan itu sesungguhnya adalah tiket gratis. Ada yang sudah membayar harga perjalanan ini khusus untukmu. Ketika tiba saatnya penjemputan, semua orang yang memegang tiket itu boleh ikut kereta. Dia yang mengendalikan penjemputan sudah terlatih. Tidak mungkin tersesat karena Ia sudah tahu jalannya dari bumi ke surga.


itulah yang disampaikan pria berjubah sore itu.
Betapa bahagianya mengetahui bahwa kematian Yesus itu bukan sesuatu hal mengerikan yang dibebankan menjadi tanggung jawab kita. Sejak kecil aku sering mendengar hal-hal ini, “Yesus mati karena kamu. Dosamu yang besar itu menyebabkan Ia menderita! DarahNya itu mengalir karena kesalahanmu.” Tiap kali mendengar hal-hal seperti ini aku seringkali merasa sedih. “kenapa Tuhan membiarkan proses penciptaan manusia berlangsung terus-menerus sampai saat ini, kalau itu hanya akan menambah penderitaanNya? Bukankah ketika ada semakin banyak manusia yang tercipta, berarti semakin banyak dosa, berarti semakin besar penderitaanNya? Apakah Tuhan adalah pribadi yang suka menyiksa diriNya?”

Mendengar bahwa keselamatan itu semacam tiket gratis untuk menikmati Tuhan sungguh membuatku merasa dicintai. Bahwa ia membelikanku tiket agar dapat menikmati kebersamaan denganNya. Ia bahkan turun ke bumi untuk membuatkan jalan bagi manusia agar mencapai surga. Aku ini sangat mudah tersesat. Jadi mengetahui bahwa ada Seseorang yang sudah menempuh jalan dari bumi ke surga, membuatku tenang. Karena mencintaiku, Ia membuatkan jalan untukku ke surga.

Aku merasa dicintai karena menyadari bahwa Dia yang menciptakan manusia, ternyata adalah pribadi yang sangat mencintai manusia. CintaNya itu diwujudkan dengan menjadikan diriNya teman seperjalanan bagi ciptaanNya. Ia- yang adalah Pencipta- telah mengosongkan diriNya dan mengambil rupa sebagai seorang manusia – ciptaan. Itu artinya ia sungguh-sungguh hadir dalam kehidupan manusia. Sungguh aku merasa dicintai ketika mengingat bahwa Tuhan pernah merasakan panasnya terik, dinginnya hujan, menggigilnya malam dan gerahnya siang- sama seperti yang kualami saat ini. Tuhan juga pernah merasakan bagaimana getirnya darah dan daging ketika berhadapan dengan rasa marah, kecewa, sedih, bingung dan juga takut. Bahagiaku juga karena percaya bahwa Ia pun pernah menikmati lezatnya ikan bakar, segarnya air, pun rasa lapar yang menggoda.

Ketika Tuhan memutuskan mengambil rupa seorang manusia, itu artinya Ia sungguh-sungguh mengalami pengalaman manusia. Menjadi anak-anak, remaja, dan dewasa, lalu mati. Kenyataan bahwa Tuhan mau mencicipi kehidupan manusia itu membuatku merasa dicintai. Ia sungguh-sungguh mencicipi bagaimana rasanya ada dalam kandungan. Mencicipi kelahiran. Mencicipi pertumbuhan dan perkembangan menjadi dewasa. Mencicipi penolakan. Mencicipi penderitaan manusia. Dan bahkan Ia juga mencicipi kematian sebagai manusia. Bukankah semua ini adalah pengalaman yang akan kita alami sebagai manusia? 

Bagiku, cintaNya itu bukan hanya ketika Ia menjalani jalan salib. Ia bukan Pencipta yang playing victim untuk menunjukkan besar cintaNYa. Besarnya cintaNya itu nyata ketika ia sungguh menjadikan dirinya teman seperjalanan bagi manusia. Bagiku. Menemaniku menjalani kehidupan di bumi. Menemaniku menikmati panasnya terik dan dinginnya hujan. Menemaniku menikmati lembah, gunung, ataupun laut. Menemaniku menikmati tawa, takut, marah, kecewa, sedih, dan semua emosi yang ada. Menemaniku menghadapi penolakan dan pujian. Menemaniku dalam semua pengalaman menjadi manusia. Ia yang berkata “Aku mencintaimu”, sungguh-sungguh ada bersamamu untuk menikmati berbagi kebersamaan dalam hidup. Tidakkah itu sangat romantis?  

Sore itu, aku merasa dicintai karena tidak diburu-buru untuk segera ke surga. Ia justru mengajukan undangan untukku menikmati bumi bersamaNya. Menemaniku mengamini “jadilah kehendakMu, di bumi seperti di surga”.

Hingga nanti Ia menjemputku untuk menikmati kebangkitan dan perjamuan surgawi. Hingga nanti aku kembali nyungsep di kelekNya, menikmati sun sayang, menikmati dongeng-dongengNya. Dan menikmati bisikan lembutNya “sangat mencintaimu, kesayanganKU.”


PS: Tuhan menyayangimu. Sungguh amat sangat! 


...bersambung

No comments:

Post a Comment