Sunday, August 25, 2013

Kadang ingin ada diriMu, tuk duduk menemani...

22 Agustus 2013. Kamis subuh itu aku menyadari bahwa pemberontakan tubuhku bukan lagi semacam sinyal pencari perhatian yang manja. Benar-benar ada yang tidak beres dengan napasku. Itu adalah saat aku ingin memaki suara yang mengatakan bahwa oksigen itu gratis. Aku sadar di sekelilingku pastilah ada partikel-partikel O2 yang melayang di udara. Tapi entah kenapa subuh seolah partikel O2 jatahku sudah habis. Subuh itu napasku sesak. Seharusnya aku tetap mengumpulkan kotak-kotak kosong, botol-botol kosong atau semua ruang kosong untuk menyimpan oksigen bagi diriku sendiri. Sungguh, tak selamanya oksigen itu gratis...


Itu yang membuatku membulatkan tekad periksa ke dokter. “Sudahlah! Akui bahwa walaupun ini tahun ketigapuluh kamu mengendarai tubuh ini, tetap saja ada bagian yang tidak dapat kamu kenali atau kendalikan dengan baik.” Begitu kata Sesuatu dalam diriku.

Siang itu, aku mendapat no urut 17 untuk bertemu dokter. Tapi karena aku datang pagi, aku diperbolehkan bertemu dokter lebih dulu dibandingkan pasien lainnya. Ketika dokter menempelkan stetoskop di tubuhku, ingin rasanya aku ikut mendengar apa yang didengar dokter itu. Ingin rasanya aku mendengar apa yang dikatakan tubuhku. Sempat merasa cemburu, bagaimana bisa paru-paruku lebih nyaman menyampaikan keluhannya pada dokter yang baru ditemui hari itu dibandingkan langsung bicara denganku yang selama 30 tahun ini menggembolnya kemana-mana? Ah, tapi bukankah cemburu itu adalah hal yang pasti akan dialami semua relasi. Mungkin paru-paruku pun pernah suatu kali cemburu padaku yang sempat mengabaikannya.

“Bronkhitisnya kumat. Itu karena alergi. Nilai alergimu itu tinggi sekali. Kalau orang normal cuma 100, ini kamu sudah sampai 300. Bahkan lebih. Badanmu sudah capek berperang sendiri. Perlu bantuan obat.” Begitu kira-kira kata dokter dan suster menceritakan kondisi tubuhku. Tidak seperti biasanya, kali ini aku kehilangan kata-kata. Aku tidak banyak bertanya. Pun tidak ingin tahu info apapun lebih banyak. Rasanya cuma pingin segera keluar dari rumah sakit itu. Mendadak merasa kecewa, seperti dikhianati. Seolah-olah aku baru saja menangkap basah tubuhku sedang berselingkuh. Menyembunyikan sesuatu dariku. Akh...

Sewaktu menunggu antri mengambil obat, mataku mendadak terpaku pada kursi kosong yang ada disebelahku.
Kadang ingin ada dirimu, tuk duduk menemani...
Begitu lagu yang tiba-tiba mengalun dalam diriku. Aku ketakutan. Lagi-lagi harus berhadapan dengan yang namanya Bronkhitis. Sejak berumur 2 tahun, aku terus menerus harus bermain dengan si bronkhitis. Terkadang dia memaksaku untuk menelan berbagai macam obat. Tapi kadang aku juga memaksanya untuk hilang sejenak dari pikiranku, dengan berpura-pura bahwa aku ini sehat-sehat saja. Mencuri-curi main hujan. Mencuri-curi asyik berendam di kolam. Tidak mau minum obat. Kadang aku bilang lupa. Kadang aku sengaja membuang butiran obat itu. ah, tapi semua itu justru membuat brokhitis berhasil mengikutiku terus sampai aku kuliah.

Siang itu, mendadak aku pingin ditemani. Bukan dengan kursi kosong. Siapapun boleh, asal bukan kursi sepi itu, karena aku takut dengan si bronkhitis. Bagaimana kalau nanti aku demam sampai kejang lagi? Bagaimana kalau nanti aku pingsan lagi? Bagaimana kalau semua itu terjadi lagi waktu aku sendiri? Aku takut.

Tapi lalu ada Sesuatu yang berbicara dari dalam diriku,
“Gusti itu lebih nyata daripada kursi sepi!”
Ah, bukankah bronkhitis yang dulu pertama kali membuatku mengenal Gusti? Ketika 3 hari demam dan kejang berkali-kali. Ketika itu aku marah karena papa-mama harus ke gereja sementara aku kejang karena demam. Dalam amarah, aku hanya bisa menelan teriakanku. Memohon bantuan pada bayangan dedaunan yang masuk lewat jendela kamar untuk menyampaikan pesan ini padaNya, “bukankah Gusti punya semua hari, kenapa harus meminta papa-mama ke gereja saat aku sedang sakit?”

Hari-hari berikutnya bayangan-bayangan daun itu yang menemaniku dalam sepi. Mereka mendengarkan marahku, tapi tak pernah satupun ada balasan dariNya. Ia tidak memarahiku. Di sela-sela waktu sadarku, Ia justru memainkan pertunjukkan wayang. Hingga aku tertidur. Terlelap untuk kesekian kalinya.

Setelah demamku turun, aku diperbolehkan duduk-duduk di teras depan rumah. Ketika itulah untuk pertama kalinya aku merasa dicintai. Di teras depan rumah itu aku jadi tahu siapa yang memainkan bayangan dedaunan. Aku jadi tahu siapa yang membuatku tidur lelap ketika demam. 
Di teras depan rumah itu aku tahu: Gusti ada dalam angin sepoi-sepoi. Ia yang memainkan dedaunan untuk membentuk pertunjukan wayang untukku. Ia yang menidurkanku dalam belaian angin sejuk ketika badanku berkeringat karena demam. Ia yang mendengarkan marahku dan tetap mencintaiku. Ia yang mencintaiku dalam hembusan angin.
Ah...bronkhitis memang menyebalkan. Tapi ia patut disyukuri. Karena ia yang pertama kali membuatku merasa dicintai.
Sekarang bronkhitis datang lagi. Mungkin nanti adakalanya aku tiba-tiba aku merasa sedih karena sendiri. Atau dalam ketakutanku, mungkin aku akan mulai bertanya. “Siapa yang akan memainkan bayangan-bayangan daun? siapa yang akan mendongeng hingga aku terlelap?”

Kiranya dendang ini menjadi doaku,
Kadang ingin ada diriMu, tuk duduk menemani...

No comments:

Post a Comment