Saturday, August 17, 2013

Merasa dicintai

Ibadah sabtu sore yang lalu masih menyisakan sejumput perenungan. Ini yang disampaikan sore itu.


Beriman itu adalah menghidupi kekinian
Tentang kekinian. Masa lalu itu bukan hidup, melainkan kenangan akan kehidupan yang tersimpan di ingatan. Masa depan juga bukanlah hidup, melainkan gambaran akan kehidupan yang kita buat di dalam pikiran kita. Nah, hidup yang sesungguhnya itu adalah kekinian. Here and now.
Menghidupi kekinian itu berarti percaya bahwa Tuhan selalu merancangkan kebaikan. Seperti Abraham yang membiarkan Lot memilih daerahnya lebih dulu. Sebidang tanah yang subur dengan aliran sungai yang mengairi padang rumput subur. Namun Abraham percaya bahwa berkat Tuhan itu menyertainya. Jadi kalau pun ia pergi ke lahan tandus pun, pastilah tanah itu akan terberkati. Dan sungguh hal itu diperhitungkan sebagai iman.
Menghidupi kekinian itu berarti percaya bahwa Tuhan memberi kecukupan. Seperti Abraham yang tidak mengambil barang rampasan sekalipun menang. Katanya, “janganlah orang mengatakan bahwa aku ini kaya karena mengambil kekayaan orang lain. Kalau aku kaya, sungguh itu karena perkenaanNya.” Sesungguhnya menjadi kaya itu tidak perlu memiskinkan orang lain.
Menghidupi kekinian itu juga berarti memberi diri untuk menjadi bukti kasih Tuhan bagi dunia. Bersepakat untuk mengamini “jadilah kehendakMu, di bumi seperti di surga.” Memberi diri untuk menikmati dicintai olehNya dalam berbagai lokasi dan cuaca. Hujan deras dan panas terik sama-sama punya kedudukan istimewa untuk menjadi sarana cintaNya. Di lembah subur pun di padang gersang, selalu ada jejak cintaNya. Seperti dikisahkan mimpi seorang yang kena kanker: dua pasang jejak kaki, itu saat aku berlari kecil disampingNya. Satu pasang jejak kaki, itu saat aku dalam gendongan tanganNya. Dan ketika tak satu jejak kakipun tampak, itu adalah saat Ia mengajakku menikmati terbang bersamaNya.
Menghidupi kekinian itu juga berarti percaya dengan kekuatan Tuhan. Bumi ini ciptaanNya. Penciptaan manusia merupakan bentuk undangan dariNya untuk kita menikmati karyaNya. Ada kalanya sesama ciptaan bisa saling melukai, lalu menimbulkan takut dan terancam. Kiranya ketakutan itu bukan sesuatu yang membuat kita bersembunyi, melainkan mendekat padaNya. Karena sesungguhnya keberanian adalah ketakutan yang menerbitkan doa. Dan ketika doa itu nyata, nyata pula Ia yang menjadi tujuan doa kita. Itu yang akan memampukan kita menikmati apapun yang dilemparkan kehidupan pada kita. Seperti seekor beruang kecil yang lari ketakutan dikejar macan. Ia terselamatkan karena tangisnya didengar oleh si induk.(kisah beruang kecil bisa dilihat disini http://www.youtube.com/watch?v=wIYcDqOTEBY)


Pak Pendeta menutup khotbahnya dengan kisah nyatanya sendiri. Suatu malam, ia dan istrinya duduk di teras rumah. Sang istri baru saja keguguran karena kandungannya terserang virus. Dalam kerinduan mereka akan kehadiran seorang anak, pak pendeta itu berbisik pada langit. “Di langit kan ada banyak bintang. Masak sih satu aja nggak ada yang mau turun buat kita?”

Semingguan ini menahan diri untuk menuliskan semuanya, karena takut semua ini hanya berakhir menjadi tulisan. Dan sungguh “kekinian’ tulisan ini menjadi tertunda seminggu karena aku gagal menghidupi kekinian.  Nah lhoo...

Mendengar, menceritakan dan menuliskan semua ini jauh lebih mudah daripada melakukannya. Menghidupi kekinian itu bukan hal yang mudah ketika takut akan bayangan masa lalu dan kuatir akan masa depan sudah menjadi kebiasaan pilihan kita. Mudah sekali bagiku terpleset menyalahkan masa lalu: “kenapa dulu aku nggak begini?” “kenapa dulu aku nggak begitu?”. Sama mudahnya untuk melompat ke masa depan: “andai saja keadaannya...”, “kalau saja aku ada di dimensi masa depan...”.

Tapi aku selalu percaya bahwa cinta adalah kekuatan besar yang memampukan kita mengubah kebiasaan. Bukankah semua orang yang sedang jatuh cinta biasanya jadi melakukan hal aneh diluar kebiasaannya? Jadi malam ini, sama seperti ketika pak pendeta dan istrinya berbisik pada bintang, aku membisikkan sesuatu ke bintang-bintang “hei! Kalian yang beramai-ramai di langit, bantu aku jatuh cinta lagi yaa....”


Kekinian berdiri di hadapanku, tersenyum dan menyampaikan bisikanNya, 
“I am here, dear.”





NB: khotbah disampaikan oleh pendeta Sundjojo dari Gereja Brayat Kinasih.

No comments:

Post a Comment